Kasus Sukena dan Landak Jawa yang Mengusik Nurani
Nyoman Sukena, warga Bali, tak pernah menyangka bahwa menyelamatkan empat landak jawa akan menyeretnya ke masalah hukum. Niat baik untuk merawat hewan yang dilindungi ini tidak memberi keuntungan pribadi, namun berakhir dengan jeratan pidana. Kasus ini menjadi contoh nyata ketidakadilan hukum di Indonesia, di mana masyarakat yang tidak memahami aturan sering kali menjadi korban.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Sukena menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud memperdagangkan satwa tersebut. Sebagai orang awam, ia tak mengerti aturan perlindungan satwa liar. Ketidaktahuan ini berujung pada tuntutan hukum yang berat, menunjukkan betapa kerasnya sistem hukum terhadap masyarakat yang kurang berpendidikan dan miskin.
Kasus ini menyoroti ironi ketidakadilan hukum. Sukena, seorang pria sederhana, terancam hukuman hanya karena berniat baik. Hukumseharusnya memperhitungkan latar belakang sosial dan pendidikan seseorang, bukan hanya menegakkan aturan tanpa melihat konteks.
Untungnya, tekanan publik dan media membantu Sukena terbebas dari hukuman. Hal ini membuktikan bahwa suara masyarakat bisa memengaruhi jalannya hukum. Kasus ini menjadi perbincangan luas, tidak hanya karena aspek hukumnya, tapi juga karena ketidakadilan yang dirasakan.
Baca juga:
Kasus Sukena harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih menerapkan restorative justice, pendekatan yang fokus pada pemulihan dan edukasi, bukan sekadar hukuman. Daripada menghukum Sukena, ia seharusnya diberi edukasi tentang perlindungan satwa. Ini lebih manusiawi dan mendidik daripada sekadar menghukum seseorang yang berniat baik.
Namun, jaksa lebih memilih jalur pidana daripada edukasi. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemerintah telah cukup menyosialisasikan aturan hukum? Jika masyarakat kurang memahami hukum karena minim edukasi, apakah adil menghukum mereka atas ketidaktahuan itu?
Kasus ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Nenek Asyani juga dihukum karena dituduh mencuri kayu jati, meskipun ia tidak memahami aturan. Seperti Sukena, Nenek Asyani menjadi korban sistem hukum yang kaku dan tidak responsif terhadap realitas masyarakat.
Ketidakadilan yang dialami Sukena dan Nenek Asyani harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Hukum seharusnya melindungi yang lemah, bukan menghukum mereka karena ketidaktahuan. Jika hukum tidak mampu melindungi, maka ia telah gagal menjalankan fungsinya.
Pembebasan Sukena memang patut diapresiasi, tetapi tidak cukup. Kasus ini harus menjadi titik awal reformasi hukum yang lebih inklusif dan berkeadilan. Pemerintah harus giat menyosialisasikan aturan hukum, terutama di daerah terpencil, agar masyarakat yang kurang teredukasi bisa memahami hukum. Pendekatan restorative justice harus menjadi prioritas, sehingga keadilan tidak hanya berarti hukuman, tetapi juga pemahaman dan perbaikan.
Kasus Sukena menjadi cerminan betapa mendesaknya reformasi hukum di Indonesia. Masyarakat perlu mendukung reformasi hukum yang lebih inklusif dan berkeadilan. Reformasi hukum yang berkeadilan bertujuan menciptakan sistem hukum yang terbuka dan adil bagi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang kurang teredukasi. Fokusnya harus pada pemulihan, bukan penghukuman semata. Reformasi ini bertujuan menghilangkan ketimpangan dalam penegakan hukum dan menciptakan akses serta pemahaman yang setara bagi semua warga negara.
Pendekatan restorative justice perlu diterapkan lebih luas, agar hukum tidak sekadar menjadi alat penghukuman, tetapi juga mendidik dan memperbaiki. Jika kita tidak bergerak untuk perubahan, ketidakadilan hukum akan terus berlanjut, dan lebih banyak "Sukena" lainnya akan menjadi korban.
Hukum yang baik adalah hukum yang melindungi, bukan yang menghukum tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi.