Melacak Jejak Sumber Sejarah Kerajaan Melayu di Sumatra

JAKARTA - Tak ada sebutan lebih agung pada kerajaan Melayu selain dengan sebutan Pulau Emas. Pada abad ketujuh, Kerajaan Melayu tak hanya jadi kerajaan kaya, tapi juga adikuasa. Beberapa sumber sejarah mengatakan kerajaan tua itu mampu mengontrol perdagangan di Selat Melaka.

Meski demikian, sumber sejarah Kerajaan Melayu sampai saat ini masih gelap. Belum ada bukti kuat terkait keberadaan Kerajaan Melayu di Sumatera, khususnya Jambi. Bahkan sumber sejarah kerajaan tersebut tak tercantum dalam materi pembelajaran di sekolah.

Soekmono dalam Rekonstruksi Sejarah Melayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi mengatakan sejarah Kerajaan Melayu salah satunya disandarkan pada catatan perjalanan yang berasal dari China. Sayangnya catatan tersebut masih sulit ditafsirkan sehingga kronologis dan cerita sejarahnya masih belum bisa dipastikan secara jelas.

Sumber sejarah Kerajaan Melayu dari berasal dari catatan China

Tak dapat dipungkiri, China punya andil dalam kegiatan perniagaan dunia. Di masa lalu, mereka memiliki kebiasaan yang berupa menyusun catatan perjalanan.

Bahkan beberapa kerajaan memberikan penghormatan kepada tamu dari kerajaan lain dengan cara membuat sebuah catatan terkait mereka. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh para ahli sejarah untuk menyusun sejarah dunia, khususnya Asia.

Sejarah Kerajaan Melayu pun pernah tercatat dalam catatan perjalanan yang dimiliki oleh China. Misalnya, dalam Sejarah Baru Dinasti T’ang (Hsin-t’ang-shu) dari 618-907 mengatakan bahwa pada tahun 644 dan 645 mereka didatangi utusan dari Melayu.

Kabar keberadaan Kerajaan Melayu juga ditulis oleh I-tsing, seorang pendeta Budha dari China. I-tsing diceritakan melakukan perjalanan dari Kanton, China menuju Nagapattam, India. Dalam perjalanannya, ia singgah di She-li-fo-she (Shili foshi), nama kerajaan yang dipercaya sebagai Sriwijaya, pada tahun sekitar 671 atau 672.

Di Sriwijaya, I-tsing singgah untuk belajar bahasa sansekerta selama enam bulan. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan tinggal di Mo-lo-yeu, nama kerajaan yang diyakini sebagai kerajaan Melayu. Di kerajaan tersebut I-tsing menetap beberapa bulan sebelum akhirnya ia melanjutkan perjalanan ke Chieh-cha (Kedah), lalu ke India.

Pada tahun 685, tepatnya saat dalam perjalanan pulang, I-tsing kembali singgah ke Mo-lo-yeu yang telah berganti menjadi She-li-fo-she. Ada dugaan bahwa wilayah Melayu maupun Sriwijaya jadi tempat singgah yang cukup sibuk sekaligus penting karena I-tsing singgah di kedua kerajaan tersebut saat berangkat maupun saat pulang dari India.

Atas dugaan itu, wajar jika kedua kerajaan tersebut tak memiliki peninggalan yang berupa prasasti seperti kerajaan lain di Jawa.

Wilayah Kerajaan Melayu di Sumatra

Gelapnya sumber sejarah Kerajaan Melayu juga mencakup wilayah kekuasaannya. Masih belum bisa dibuktikan secara pasti wilayah Kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya, mengingat kedua kerajaan itu memiliki masa perkembangan yang sama.

Selain itu wilayah kekuasaan kedua kerajaan juga dianggap sama dari sisi geografisnya. Namun, Slamet Mulyana dalam buku Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi mengemukakan bahwa Malayu berada di Jambi, sedangkan Sriwijaya ada di Palembang.

Keduanya juga bisa dipastikan sebagai kerajaan maritim. Adanya informasi tersebut memunculkan dugaan bahwa jalur sungai Batanghari menjadi pusat pemerintahan Melayu, sedangkan Ibu Kota Melayu diduga berpindah-pindah.

George Coedes pemikirannya terkait kerajaan di Sumatra dalam buku yang berjudul Kedatuan Sriwijaya Penelitian Tentang Sriwijaya (1989). Ia mengakui bahwa letak kerajaan Melayu sudah jadi pokok pembicaraan selama bertahun-tahun, apakah letaknya berada di pantai Sumatra sebelah barat atau sebelah timur ataupun di bagian selatan Semenanjung Melayu.

Meski diliputi perdebatan, catatan musafir I-tsing cukup jadi bukti kuat bahwa kerajaan Melayu letaknya berdekatan dengan Che-li-fo-che alias Sriwijaya. Berkat I-tsing pula Sriwijaya diketahui pernah mencaplok kerajaan Melayu antara tahun 672-675.

Peninggalan Kerajaan Melayu

Dalam kitab Pararaton dan Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1275 Raja Kertanegara, raja yang memimpin Singasari, mengirim pasukannya ke Melayu. Diplomasi tersebut kemudian dikenal dengan Pamalayu. Ekspedisi ini dilakukan pada 1275 dan dipimpin oleh Kebo Anabrang

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ekspedisi Pamalayu dilakukan Kertanegara untuk memperluas daerah kekuasaan di luar Jawa. Namun, beberapa ahli sejarah juga meyakini bahwa ekspedisi tersebut dilakukan untuk membendung bangsa Mongol yang saat itu ingin memperluas wilayah jajahannya di Asia Tenggara.

Ancaman Kublai Khan ini yang mendasari Kertanegara untuk menggalang kekuatan beberapa kerajaan, termasuk kerajaan Melayu. Sebagai tanda persahabatan, Kertanegara membawa tiruan patung Ranggawuri (ayak Kertanegara) dari candi Jago. Patung tersebut kini berada di Jambi Hulu. Sejak saat itulah Melayu jadi kerajaan besar yang sukses menggeser Sriwijaya.

Persahabatan antara Kertanegara dengan kerajaan Melayu cukup berhasil. Bahkan di tahun 1286 Masehi, Kertanegara mengirim patung Amoghapasa Lokeswara lengkap dengan 14 dewa pengiringnya ke Melayu.

Patung tersebut awalnya dihadiahkan kepada Tribhuwanaraja, raja Melayu di Dharmasraya. Namun pada 1347 Masehi, Adityawarman, raja setelahnya, menambahkan pahatan aksara di bagian belakang patung. Ia menyatakan bahwa patung tersebut adalah perlambangan dari dirinya. Prasasti tersebut kemudian disebut dengan Prasasti Amoghapasa.

*Selain terkait sumber sejarah kerajaan Melayu, dapatkan informasi dan berita nasional maupun internasional lainnya melalui VOI.

MEMORI Lainnya