Demokrasi Pilkada yang Nyaris Dibajak
JAKARTA - Sepekan ini masyarakat Indonesia dibuat naik turun turbulensi emosinya dengan tontonan politik di tanah air. Baru saja publik Indonesia dibuat gembira dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 60/2024 yang memberi kesempatan partai bisa mengusung calon kepada daerah yang semula tak bisa karena syarat threshold diturunkan. Serta putusan 70/2024 yang menetapkan usia calon gubernur berusia minimal 30 tahun dan calon bupati/walikota minimal 25 tahun dihitung saat penetapan.
Putusan itu membuat banyak orang merasa senang karena terbukanya pilihan yang lebih banyak calon kepala daerah bagi pemilih pilkada. Aturan sebelumnya partai dibatasi yang bisa mengusung calon adalah partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi. Sehingga hanya koalisi gemuk KIM plus lah yang menguasai pencalonan pilkada, sehingga masyarakat pemilih disodori calon yang terbatas dan banyak calon yang ingin maju menjadi terhalang, serta menciptakan pemilihan dengan kotak kosong.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 60/2024 dan putusan 70/2024 juga dianggap menjadi angin segar bagi pulihnya demokrasi di tanah air. Karena MK telah menurunkan ambang batas threshold lebih rendah dari sebelumnya, selain semakin banyaknya calon peserta pilkada juga menghindari timbulnya kotak kosong di sejumlah daerah. Bagi publik juga memberikan kesempatan pilihan lebih calon pilkada.
Baca juga:
Peristiwa itu juga pertanda pulihnya MK sebagai penjaga konstitusi, setelah kasus putusan 90/PUU-XXI/2023 yang ditengarai digunakan jalan bagi Putra Sulung Presiden, Gibran menjadi wakil presiden. Mahkamah Konstitusi ada upaya perbaikan Lembaga setelah nama besarnya tercoreng akibat putusan itu. MK dianggap telah kembali menjadi Lembaga Lembaga yang bisa bisa diharapkan menjadi tempat mencari keadilan publik.
Namun kegembiraan masyarakat itu tak berlangsung lama. Tiba tiba kita dikejutkan aksi pembangkangan sejumlah anggota DPR, mereka mengatakan menolak putusan MK tersebut. Mereka menyatakan tidak akan mengikuti putusan MK. Mereka akan merevisi UU Pilkada dengan agenda lain, agenda yang didukung oleh pihak pemerintah. Sehingga publik menyebut hal ini sebagai upaya pembangkangan konstitusi. Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat yang melakukan pembahasan justru mencari alibi dengan landasan hukum lain, bukan melaksanakan petuah MK, justru mencari ketentuan itu di putusan Mahkamah Agung (MA).
Sikap DPR yang tidak patuh pada putusan MK ini justru menjadi cemoohan masyarakat, dan membangkitkan kemarahan dan kekesalan publik. Ketidakpatuhan DPR dianggap sebagai lembaga yang tidak patuh pada hukum. Masyarakat percaya pembangkangan itu adalah upaya untuk memberi jalan kepada Kaesang bisa maju di Jawa Tengah.