Kelas Menengah RI Menurun, Ketua Banggar: Padahal Mereka Penggerak Konsumsi Domestik
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah ungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada konsumsi domestik oleh sebab itu pemerintah harus turut menjaga dan memperhatikan kalangan kelas menengah dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada konsumsi domestik, tapi itu terancam menurun seiring dengan turunnya kelas menengah Indonesia. Sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita turun 8 juta jiwa. Padahal merekalah sebenarnya kelas penggerak konsumsi domestik,” ujar Said dalam rapat Banggar dengan Pemerintah, Selasa, 27 Agustus.
Adapun dalam Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2025, pemerintah mentargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2025 sebesar 5,2 persen.
Menurut Said sepanjang 2015 hingga 2023 Indonesia hanya pernah sekali melampaui pertumbuhan ekonomi di atas target yaitu pada 2022 yakni 5,31 persen.
Said menyampaikan Indonesia menghadapi persoalan struktural sehingga menjadi faktor yang membuat Indonesia sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi yaitu ekonomi berbiaya tinggi karena perizinan dan korupsi, ketidakpastian hukum, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum terampil, konektivitas antarwilayah belum terjalin baik, dan menurunnya demokrasi.
“Berbagai persoalan ini sudah kita bincangkan sudah lama sekali. Namun seolah belum cukup energi untuk keluar sepenuhnya dari persoalan ini,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Said mendorong agar pemerintah untuk lebih progresif dalam menyelesaikan persoalan struktural yang sejak lama menghambat pertumbuhan ekonomi.
Baca juga:
Said mengatakan, berdasarkan dokumen Visi Indonesia 2045, sebenarnya dibutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi setidaknya 5,4 persen hingga 6 persen untuk mencapai visi Indonesia emas 2045.
Sehingga, menurut Said pemerintah berfokus pada konsumsi domestik yang perlu terus dijaga dibarengi dengan inflasi yang terkendali rendah, investasi yang masuk harus dapat membuka lapangan kerja baru, serta memberikan nilai tambah atas produk ekspor.
“Setidaknya kita membutuhkan kontribusi investasi minimal 1,5 persen, dan ekspor 0,5 persen sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Dengan demikian, tulang punggung permintaan bukan hanya konsumsi domestik,” ujarnya.