Uber Didenda Rp5 Triliun di Belanda karena Mengirim Data Pribadi Pengemudi ke AS

JAKARTA - Platform ride-hailing Uber didenda sebesar 290 juta euro (sekitar Rp5 triliun) di Belanda karena mengirim data pribadi pengemudi taksi Eropa ke Amerika Serikat. Hal ini  melanggar peraturan Uni Eropa (UE), seperti diumumkan oleh otoritas pengawas perlindungan data Belanda, DPA, pada  Senin, 16 Agustus.

"Keputusan yang cacat dan denda luar biasa ini benar-benar tidak adil," kata juru bicara Uber, Caspar Nixon, dalam sebuah email kepada Reuters.

Nixon menjelaskan bahwa proses transfer data lintas batas Uber sesuai dengan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) selama tiga tahun masa ketidakpastian besar antara UE dan AS, dan menambahkan bahwa perusahaan akan mengajukan banding dan yakin bahwa "akal sehat akan menang."

DPA menyatakan bahwa Uber mengirimkan data pribadi ke Amerika Serikat tanpa melindungi data tersebut dengan semestinya, yang menurut mereka merupakan pelanggaran serius terhadap GDPR.

Uber dapat mengajukan banding atas keputusan ini dengan DPA, dan jika tidak berhasil, mereka dapat membawa kasus ini ke pengadilan Belanda. Proses banding diperkirakan akan memakan waktu sekitar empat tahun dan denda tersebut ditangguhkan sampai semua upaya hukum selesai, menurut DPA.

Investigasi ini dipicu oleh keluhan yang diajukan oleh organisasi hak asasi manusia Prancis atas nama lebih dari 170 pengemudi taksi di Prancis kepada otoritas perlindungan data negara tersebut. Namun, karena Uber memiliki kantor pusat di Eropa yang berlokasi di Belanda, kasus tersebut diteruskan ke DPA.

Regulator nasional perlindungan data Prancis, CNIL, dalam pernyataan terpisah mengatakan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan DPA dalam kasus ini.

Dalam kasus terkait lainnya, DPA mendenda Uber sebesar 10 juta euro (Rp169,9 miliar) pada bulan Januari karena pelanggaran regulasi privasi terkait data pribadi pengemudi mereka