Sejarah Pariwisata Bali: Gesekan Abadi Adat dan Wisata

JAKARTA - Bali adalah Pulau sejuta pesona. Sedari zaman Belanda, Bali telah menarik pelancong dari pelosok negeri. Budaya, alam, serta religiusnya Bali menjadi daya tarik. Namun, pariwisata bak bermata dua bagi Bali. Satu sisi mengangkat Bali di dunia. Sisi lain, pariwisata merusak Bali. Budaya Bali yang awalnya sakral, mulai berkompromi dengan komersialisme. Pun soal adat. Investasi seakan jadi dewa baru.

Narasi kekhawatiran akan rusaknya Bali telah mengemuka sejak dulu. Pelukis kesohor, José Miguel Covarrubias, salah satunya. Covarrubias yang pernah menetap di Bali memandang Pulau Dewata sebagai surga. Bukti kecintaannya pada Bali dituangkan dalam mahakaryanya, Island of Bali (1937).

Covarrubias kagum dengan segala hal tentang Bali, terutama kecantikan gadis-gadis Bali. Apalagi, gadis-gadis itu lebih suka bertelanjang dada sembari menjalankan aktivitas kehidupannya, seperti menari, membuat sesajen, menumbuk padi, pergi ke sawah, dan juga ketika menerima tamu.

Kekaguman itu semakin bertambah kala Covarrubias mulai terpana pada alam Bali, tarian, rumah, dan hampir segalanya. Kekaguman itu berbuah banyak karya.

Tak sekadar potret Bali dalam kanvas, Covarrubias juga mengabadikannya dalam kata-kata. Tetapi, kekagumannya pada Bali sama besarnya dengan kekhawatirannya akan rusaknya Bali dikemudian hari.

Covarrubias merekam kekhawatirannya dalam satu kalimat: Bali akan rusak jika pelancong semakin banyak datang.

“Kekhawatiran saat ini adalah Bali mengalami pergeseran nilai. Arus deras kebudayaan dari luar, entah itu Barat, Timur, atau Indonesia non-Bali, melanda berbarengan dengan mengalirnya duit yang dibawa wisatawan. Para pelancong jelas membawa nilai baru. Dan ini bersentuhan dengan adat Bali. Tak heran jika sebagian orang, baik orang Bali maupun orang luar Bali, selalu cemas, adat yang sedemikian kukuh dan eksotis ini lama-lama bakal terkikis juga,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Kompromi Budaya, Wisata, dan Bisnis (1991).

Benar apa yang dikatakan Covarrubias. Selepas Indonesia merdeka, komersialisasi di segala bidang tampak menggoyahkan sendi-sendi kebudayaan Bali.

Bali tempo dulu (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Ada transisi, terutama di sektor sosial budaya. Kala dahulu masyarakat Bali lebih berpegang kepada ritual komunalistik, berubah menjadi individualis, ekonomis, demokratis, dan efisien.

Perubahan itu sampai menyentuh hasil budaya dan kesenian. Apalagi, diperburuk dengan banyaknya pertentangan adat dan pariwisata. Imbasnya, makin terbatasnya penggunaan tempat-tempat tertentu untuk acara ritual masyarakat Bali.

Pantai, misalnya. Adapula ragam gangguan lain, seperti kehadiran orang setengah telanjang atau sedang mandi di tengah upacara tersebut.

Pemandangan itu amat menjengkelkan buat orang bali. Belum lagi, terkait akses ke laut yang sering dihalang-halangi oleh kehadiran hotel-hotel.

Murka Dewata

Pada masa pemerintahan Soekarno dalam panji Orde Lama, Bali telah dilirik sebagai corong pariwisata Indonesia. Segala daya upaya dilakukan oleh pemerintah, bahkan mendesak pemuka agama mengadakan upacara pembersihan Eka Dasa Rudra yang megah di Pura Besakih pada 1963.

Tujuannya agar Bali semakin dikenal oleh dunia. Padahal, upacara itu seharusnya diadakan seratus tahun sekali.

Kendati demikian, pemerintah dan pemuka agama merasa upacara itu perlu dilakukan karena kondisi ekonomi yang buruk sebaga dampak resesi tahun 1960-an. Upacara pembersihan dipercaya bisa menyelamatkan, mengembalikan keseimbangan alam semesta.

Namun alam berkehendak lain. Masyarakat Bali percaya hal itu adalah bentuk murka dewata (para dewa).

“Malapetaka letusan Gunung Agung, gunung yang tertinggi dan paling dikeramatkan pada tahun 1963 banyak dipandang sebagai akibat campur tangan Soekarno dan tokoh-tokoh sekuler lainnya dalam menetapkan waktu dan struktur upacara. Mitologi meletusnya Gunung Agung dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali dianggap sebagai petanda buruk dari kehancuran bumi Bali,” imbuh I Ngurah Suryawan dalam buku Genealogi Kekerasan Dan Pergolakan Subaltern: Bara Di Bali Utara (2010).

Lebih lengkap lagi terkait letusan Gunung Agung 1963 telah kami ulas dalam “Sisi Mitologi Letusan Gunung Agung 1963: Sengsara dari Kepercayaan yang Dilanggar".

Gunung Agung (Sumber: Commons Wikimedia)

Mimpi meningkatkan pariwisata pun kandas. Letusan Gunung Agung yang luar biasa sempat diyakini sebagai kiamat oleh warga sekitar.

Ribuan orang tewas dalam letusan Gunung Agung. Bersamaan dengan itu, masalah lain dari Pulau Bali bermunculan.

Sebut saja, masalah serangan hama, gagal panen, dan wabah pes. Napas baru masifnya pariwisata Bali kemudian digaungkan kembali saat transisi pemerintahan dari Orla ke Orba pimpinan Soeharto.

Kala itu, Orba datang dengan mencoba menyandingkan budaya dan pariwisata sebagai satu kesatuan. Alhasil, budaya menjadi semacam simbol eksotika Bali.

Sedang pariwisata adalah sebuah “barang dagangan” berharga bagi Bali. Walau berhasil, keadaan ini sangat kontradiktif.

Jika sebelumnya kebudayaan Bali dilihat sebagai warisan yang harus dilestarikan, setelah kehadiran wisatawan, kebudayaan Bali berubah dianggap menjadi suatu "modal" yang harus dilipatgandakan.

“Hal tersebut terang menunjukkan bagaimana transformasi pergolakan politik kebudayaan pembentukan 'pariwisata' terjadi di Bali Rezim Orde Baru, dengan warisan politik kebudayaan kolonial menciptakan pariwisata sebagai jantung pergerakan ekonomi Bali. Lewat ‘doktrin’ pariwisata budaya, Orde Baru berhasil menciptakan kembali Bali menjadi destinasi pariwisata dengan ‘keunikan’ budayanya,” tambah I Ngurah Suryawan.

Bali tempo dulu (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Antropolog Prancis, Michel Picard menyebut pemisahan identitas religius dari identitas etnis yang dilakukan Orba membuat orang Bali dirampas dari adat mereka. Orang Bali disekularisasi, dipinggirkan, dan diambil alih oleh negara.

Lantaran itu, adat Bali dilecuti dari wewenang politis dan dasar religiusnya. Mau tak mau paras bali kemudian berubah. Sama seperti Soekarno, murka dewata juga hadir dimasa orba pada tahun 1971.

Di masa itu, Bali diguncang oleh suatu skandal besar. Sebuah pura pinggir Pantai Sanur direncanakan akan dibongkar oleh pemerintah.

Pembongkaran itu tujuannya untuk pengembangan Bali Beach Hotel. Sederet perangkat daerah menyetujui hal itu.

Lain hal dengan pemangku pura yang langsung memutuskan untuk ritual mapinunas, yaitu bertanya kepada dewata. Sebagai wujud para dewata mengamuk, semua pengikut upacara tiba-tiba kesurupan dan tak sadarkan diri.

“Walaupun demikian, bupati tetap memerintahkan pembongkaran pura tersebut. Tetapi kemudian sang penanda, yang ditugasi memimpin upacara untuk memberkati pembongkaran itu, mendadak lemas tak berdaya. Konon dua hari kemudian istrinya meninggal dunia. Pers turut campur dan protes-protes bermunculan, mengecam pembongkaran yang menjadi simbol pengorbanan nilai-nilai agama demi dolar pariwisata. Melihat kerasnya reaksi-rcaksi tersebut, kantor bupati mengeluarkan pernyataan yang mengizinkan pura untuk tetap berdiri di tempat,” tutup Michel Picard dalam buku Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006).

*Baca informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya