KPK Endus Dugaan Korupsi Terkait Penyediaan Air Bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno

JAKARTA - Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus indikasi  dugaan pelanggaran dalam proses penyediaan air bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Temuan didapat saat inspeksi mendadak (sidak) pada Senin, 19 Agustus kemarin.

“Kami menemukan adanya indikasi (dugaan, red) mens rea atau niat jahat dalam proses perizinan yang melibatkan berbagai pihak,” kata Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria dalam keterangan resmi, Rabu, 21 Agustus.

Dugaan ini, sambung Dian, melibatkan daerah dan pusat. “Praktik ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciptakan monopoli yang merugikan masyarakat dengan harga air yang tidak wajar dan pelayanan yang buruk,” tegasnya.

Kemudian aktivitas pengeboran diam-diam juga ditemukan. Padahal, pipa bawah laut milik pihak swasta dimaksud di Gili Trawangan telah disegel oleh Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena belum mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL)

“Di Gili Meno, Pemda bilang izinnya sedang diurus buat Portable Reverse Osmosis, tapi di lapangan sudah ada kegiatan. Berarti sama dengan kegiatan tanpa izin. Di Trawangan, diduga di lokasi yang sudah disegel pun mereka tetap bekerja,” ungkap Dian.

“Jadi ada pelanggaran di atas pelanggaran. Dulu Kementerian PU mau bantu pasang pipa sampai Gili Trawangan, kenapa dihentikan? Dengan alasan suplai air sudah kerja sama dengan pihak swasta. Nah ini, apakah pemberian kontrak tersebut prudent atau ada konflik kepentingan di sana,” sambungnya.

Dian menyebut jangan sampai temuan ini berujung adanya praktik lancung. Apalagi, pelaku usaha dan masyarakat jadi korban karena harus beli air seharga Rp12 ribu per galon.

Sementara itu, Koordinator Wilayah Kerja Gilimatra dari Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Marthanina menyoroti dampak lingkungan akibat pelanggaran izin. Banyak terumbu karang yang rusak gara-gara kejadian ini.

Marthanina menyebut indeks kesehatan terumbu karang mengalami penurunan yang signifikan. Dari nilai 38 persen mejadi 2 persen dan masuk kategori sangat buruk usai adanya pengeboran.

"Dari hasil pengendalian kami selama dua kali memang sudah didapatkan kerusakan di pengendalian. Pertama bulan Mei 2024 yaitu 1.660 meter persegi sedangkan di pengendalian kedua pada bulan Juli 2024 kemarin kami dapatkan ada penambahan luas kerusakan akibat lumpur yang tidak dibersihkan menjadi 2.360 meter persegi,” pungkasnya.