Mengatasi Pengangguran, Melawan Kemiskinan: Seberapa Siap Indonesia Menyongsong 2025?
JAKARTA - Dalam pidato pengantar RAPBN 2025, Presiden Joko Widodo mengemukakan sejumlah target penting terkait pencapaian ekonomi. Salah satunya adalah target pemerintah tingkat pengangguran menjadi 4,5-5 persen dan angka kemiskinan menjadi 7-8 persen. Apakah target ini realistis?
Agaknya, masalah mendasar dalam pasar tenaga kerja kita masih belum tersentuh. Betapa tidak, belum lama ini BPS mengemukakan bahwa sekitar 10 juta anggota Generasi Z menganggur atau tanpa kesibukan (dikenal dengan istilah NEET: not employed, in education and training).
Di sisi lain, sekitar 25 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan keduanya tumpang tindih alias memiliki pekerjaan saja tidak menjamin seseorang bisa keluar dari kemiskinan.
Banyak anggota masyarakat, yang meski sudah bekerja, tetap terperangkap dalam kemiskinan (working poor) karena rendahnya upah dan ketiadaan jaminan sosial yang membuat mereka sulit untuk meningkatkan taraf hidup. Jangan lupa juga, sebagian besar masyarakat Indonesia ditengarai bekerja di sektor informal yang tidak tersentuh jaminan ketenagakerjaan.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius, terutama dalam menilik arah perkembangan ekonomi Indonesia. Center for Market Education (CME) baru-baru ini merilis laporan bertajuk "Sebuah Agenda Inovasi Untuk Pemerintah Indonesia" yang di dalamnya juga menyoroti fenomena deindustrialisasi dini yang mengkhawatirkan.
Sektor manufaktur, yang sedari dulu menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja formal, terus mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB nasional. Menurut Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID), Alfian Banjaransari, penurunan ini menjadi lebih signifikan ketika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Vietnam, yang terus memperkuat sektor manufakturnya sembari menarik lebih banyak investasi asing (FDI).
Baca juga:
“Tren penurunan ini juga tercermin dalam kontribusi investasi terhadap PDB. Meskipun investasi masih menyumbang 29,33 persen dari PDB, tren penurunan ini mengindikasikan bahwa Indonesia mungkin mulai kehilangan daya tariknya di mata investor. Padahal, manufaktur dan investasi adalah kunci dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal, yang merupakan kunci untuk memberantas kemiskinan struktural,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu 21 Agustus.
Jika tren deindustrialisasi dan penurunan investasi ini berlanjut, menurutnya, Indonesia berisiko mengalami stagnasi ekonomi jangka panjang, yang pada gilirannya akan menghalangi upaya pemerintah untuk mencapai target pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan.
“Bagaimana nasib Indonesia di tahun 2045 kelak?” ungkapnya.