Bambang Soesatyo Ungkap Transisi Energi Butuhkan Investasi Besar

JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan Indonesia telah berkomitmen untuk menekan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi porsi penggunaan energi fosil dan mulai beralih pada energi baru dan terbarukan.

"Transisi energi ini merupakan pekerjaan besar, yang membutuhkan investasi sangat besar, dan tidak akan tuntas hanya dalam tiga sampai lima tahun,"ujarnya pada Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus.

Oleh sebab itu, Bamsoet menyampaikan strategi hilirisasi industri sudah memberikan hasil positif berupa nilai investasi pada industri pengolahan mineral yang meningkat pesat.

Selain itu, Bamsoet menyampaikan nilai ekspor nikel juga tumbuh sangat tinggi, yang membuat Indonesia menjadi negara penghasil nikel terbesar nomor satu di dunia.

Sebagai informasi - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa Indonesia memiliki komitmen kuat dalam mendukung upaya global untuk mempercepat transisi energi.

Adapun hal tersebut dibuktikan dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (e-NDC) yang telah disampaikan Indonesia kepada dunia internasional di tahun 2022 lalu.

"Dalam dokumen tersebut, Indonesia meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca menjadi 32 persen, dari sebelumnya 29 persen dengan upaya sendiri, dan 43 persen melalui bantuan internasional, dari yang sebelumnya 41 persen," ujar Arifin dalam keterangan tertulis kepada media, Kamis 25 April.

Pemerintah Indonesia, urai Arifin, saat ini tengah menyusun target yang lebih ambisius dalam mengurangi emisi GRK, yang nantinya akan disampaikan ke dunia internasional dengan dituangkan ke dalam dokumen NDC kedua. Hal ini menjadi bagian upaya Indonesia untuk terus meningkatkan komitmennya dalam mengatasi dampak perubahan iklim global.

Untuk mencapai target tersebut, Arifin menekankan bahwa diperlukan kesiapan dan ketersediaan sumber daya mineral kritis. Ia menyebut bahwa mineral kritis sangat diperlukan karena merupakan bahan dasar untuk elemen dalam teknologi bersih, seperti untuk panel surya dan lainnya.

"Hal itu sejalan dengan usaha pemerintah Indonesia untuk mengurangi penggunaan sumber bahan bakar fosil dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT)," imbuhnya.

Upaya lain yang dilakukan Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi, tambah Arifin, adalah dengan mendorong pergeseran pemanfaatan mobil listrik untuk menggantikan mobil berbasis energi fossil, dengan menawarkan kemudahan kepemilikan dengan insentif yang menarik.

"Di sektor industri, inovasi untuk mengganti boiler konvensional dengan boiler listrik dan teknologi pompa panas dapat meningkatkan efisiensi energi sebesar 75 hingga 95 persen dan mengurangi emisi sebesar 20 hingga 60 persen. Juga mengintensifkan teknologi penangkapan dan penyimpanan CO2 dalam produksi hidrogen untuk industri baja dan petrokimia," terangnya.

Meski demikian, Arifin menyebut bahwa semua hal tersebut harus membutuhkan kolaborasi yang sangat luas, tidak hanya dengan seluruh stakeholder di dalam negeri, namun juga membutuhkan kolaborasi antar negara untuk mempercepat transisi menuju energi bersih.

"Kolaborasi tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip perdagangan dan investasi, tetapi juga mempertimbangkan keuntungan antar pihak, dengan peningkatan industri lokal, konten lokal, penciptaan lapangan kerja, dan interkonektivitas regional serta pendanaan," pungkas Arifin.