PM Thailand Dipecat MK karena Angkat Napi Jadi Menteri: Saya Laksanakan Tugas dengan Integritas
JAKARTA - Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin merespons putusan pengadilan konstitusional alias Mahkamah Konstitusi yang memecat dirinya karena melanggar etika dengan menunjuk seorang menteri yang menjalani hukuman penjara alias narapidana
"Saya sedih meninggalkan jabatan saya sebagai perdana menteri yang dianggap tidak etis," kata Srettha di Government House dilansir Reuters, Rabu, 14 Agustus.
"Saya melaksanakan tugas saya dengan integritas dan kejujuran,” imbuhnya.
Wakil Perdana Menteri Phumtham Wechayachai diperkirakan akan mengambil alih jabatan perdana menteri sementara.
Srettha mempertahankan penunjukannya terhadap mantan pengacara Shinawatra, Pichit Chuenban, yang pernah dipenjara karena penghinaan terhadap pengadilan pada tahun 2008 atas dugaan upaya menyuap staf pengadilan.
Namun tuduhan suap tidak pernah terbukti dan Pichit menjabat pada Mei.
Baca juga:
Taipan real estate Srettha menjadi perdana menteri Thailand keempat dalam 16 tahun yang diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang sama, setelah hakim pengadilan tersebut memutuskan pemecatan PM Thailand karena gagal melaksanakan tugasnya dengan integritas.
Pemecatan Srettha setelah kurang dari satu tahun berkuasa berarti parlemen harus bersidang untuk memilih perdana menteri baru, dengan prospek ketidakpastian yang lebih besar di negara yang selama dua dekade dirundung kudeta dan keputusan pengadilan yang telah menjatuhkan banyak pemerintahan dan partai politik.
"Pengadilan telah memutuskan 5-4 (komposisi putusan hakim, red) bahwa terdakwa diberhentikan sebagai perdana menteri karena kurangnya kejujuran," kata hakim, seraya menegaskan perilakunya "sangat melanggar standar etika" dilansir Reuters, Rabu, 14 Agustus.
Keputusan tersebut menggarisbawahi peran penting peradilan Thailand dalam politik, dengan pengadilan yang sama pekan lalu membubarkan Partai Move Forward yang anti-kemapanan setelah memutuskan kampanyenya untuk mereformasi undang-undang yang melarang penghinaan terhadap kerajaan yang berisiko merusak monarki konstitusional.