Terjadi Lagi Penganiayaan Anak di Daycare, DPR Desak Pelaku Dijerat Hukuman Maksimal
JAKARTA - Kasus penganiayaan anak oleh pemilik tempat penitipan anak atau daycare terus terjadi. DPR pun mendesak penegak hukum untuk menjerat pelaku penganiayaan anak dengan hukuman maksimal.
"Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, kejahatan demikian rasanya berat untuk dimaafkan. Kami mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman yang maksimal," ujar Anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto, Rabu 14 Agustus.
Setelah kasus penganiyaan 2 anak oleh pemilik daycare di Depok, Jawa Barat, terbaru terungkap adanya perihal serupa di Pekanbaru. Seorang ibu bernama Aya Sofia (41) melaporkan pemilik dan pengasuh daycare ke polisi. Laporan tersebut lantaran ia tidak terima anaknya di-lakban dan tidak diberi makan oleh tersangka WF.
Aya mengaku kasus yang menimpa sang anak terungkap pada Mei lalu. Saat itu ada salah seorang pengasuh menghubungi dirinya dan memberi kabar kondisi anaknya selama berada di daycare tempatnya menitipkan sang anak. Video WF saat menganiaya korban juga beredar di media sosial.
Saat ini WF sudah dijadikan tersangka namun tidak ditahan dengan alasan ancaman pidana hukuman di bawah 5 tahun. Sementara tersangka dalam kasus penganiayaan anak di daycare Depok berinisial M ditahan pihak kepolisian karena ancamannya lebih dari 5 tahun, dengan korban anak berusia 2 tahun dan 9 bulan.
Didik menilai, kasus-kasus penganiayaan terhadap anak merupakan hal tak termaafkan.
"Miris dan ikut prihatin atas kejadian kekerasan terhadap anak yang belakangan sering terjadi. Karena anak-anak ini ibarat kertas putih yang begitu bersih, seharusnya diberikan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi," tutur Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.
Didik menjelaskan, kasus penganiayaan di tempat daycare yang sudah sering terjadi harus menjadi peringatan bagi semua pihak. Untuk itu, ia meminta masyarakat untuk waspada khususnya bagi orangtua yang menitipkan anak di daycare.
Baca juga:
- Polisi Pekanbaru Periksa Tujuh Saksi dalam Kasus Dugaan Penganiayaan di Early Step Daycare
- Pengasuh Daycare di Pekanbaru Tak Beri Makan Anak supaya Tak BAB Jadi Tersangka
- Sedang Hamil Muda, Meita Irianty Bos Daycare Wensen School Tersangka Kekerasan Anak Dirawat di RS Polri
- KemenPPPA: Kapasitas SDM Tempat Penitipan Anak Harus Memadai
"Kasus ini lagi-lagi menjadi alarm keras bagi kita semua bahwa kejahatan kekerasan terhadap anak ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk di tempat yang menurut logika kita ramah dan aman buat anak-anak," kata Didik.
Didik pun meminta kepada pemerintah dalam hal ini Kemendikbud, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dan Kementerian Sosial (Sosial) untuk berkolaborasi membuat aturan yang ketat terhadap layanan daycare.
“Tentunya dengan fokus utama mengutamakan keamanan dan keselamatan anak yang dititipkan di daycare oleh keluarganya,” sebutnya.
Lebih lanjut, Didik mengingatkan pemerintah dan instansi terkait untuk memberikan pendampingan psikologis untuk anak dan orang tua yang menjadi korban kekerasan. Pasalnya kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan pasti akan menimbulkan trauma dan membawa dampak panjang untuk korban dan keluarga.
"Ingat, kekerasan bisa membawa dampak dan trauma yang panjang dan berat buat korban, baik fisik, psikologis dan kehidupan sosial anak. Sehigga pemerintah perlu memberikan pendampingan dari psikolog untuk korban dan keluarga," jelas Didik.
Didik lantas menyoroti laporan penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menemukan bahwa 44% persen daycare belum memiliki legalitas secara nasional alias ilegal. Sebagai informasi, daycare yang legal adalah lembaga yang terdaftar di Kemendikbud, Kemensos, atau KemenPPPA.
Selain itu, banyak daycare yang dibentuk oleh masyarakat secara mandiri sehingga mereka tidak melakukan legalitas ke Dinas Pendidikan (Disdik) atau dengan kata lain tidak terdaftar. Didik menyebut, kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena artinya banyak daycare di Indonesia yang berpotensi tidak sesuai standar.
“Ini harus menjadi perhatian Pemerintah, karena walaupun daycare adalah lembaga non-formal, tapi sudah ada aturan yang harus dipatuhi oleh pihak pengelola,” ucap Anggota Banggar DPR RI itu.
Berdasarkan data dari Pribudiarta, diketahui pula bahwa hanya ada 58 tempat penitipan anak atau daycare di seluruh Indonesia yang terdata sejak tahun 2021. Pengurusan legalitas tempat penitipan anak atau Daycare tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pendidikan dan Kebudayaan.
"Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia kemungkinan terjadi salah satunya karena kurangnya pengawasan. Maka kami mendorong kepada pemerintah untuk lebih detail dalam melakukan pengawasan dan memberi sanksi bagi daycare yang tidak ada izin," papar Didik.
Komisi III DPR yang membidangi urusan penegakan hukum pun mendorong kementerian terkait untuk menggandeng pihak kepolisian dalam mengawasi layanan daycare. Didik juga mendorong ada kerja sama antara Pemerintah dengan KPAI dalam hal ini.
“Pengawasan terhadap layanan daycare masih sangat minim. Dengan sinergi banyak pihak, kita berharap kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat diminimalisir,” tukasnya.
Didik juga menekankan pentingnya Pemerintah menggencarkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang daftar daycare yang memiliki izin di Indonesia. Jika jumlahnya masih kurang, segera buat regulasi serta SOP agar daycare yang tidak terdaftar bisa masuk dalam pengawasan.
"Kami berharap ke depannya pemerintah bisa membuat kajian juga SOP untuk mengukur kelayakan daycare yang ada. Apakah sudah masuk standar nasional yang ada atau belum," kata Didik.
Di sisi lain, Didik meminta penegak hukum memastikan pengusutan kasus penganiayaan anak di daycare Depok dan Pekanbaru dilakukan secara transparan. Apalagi, pihak korban dan saksi kunci kasus penganiayaan pemilik daycare di Depok juga mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Salah satu alasan pihak korban dan saksi mengajukam perlindungan ke LPSK adalah agar tidak ada intervensi dari pihak mana pun yang berupaya untuk menghambat proses pidana dalam kasus ini. Pelaku diketahui merupakan seorang influencer.
“Penegak hukum harus memastikan proses hukum dilakukan dengan mengedepankan integritas dan transparansi. Penegakan hukum juga harus menciptakan keadilan publik karena kasus ini telah menjadi perhatian masyarakat luas,” tutup Didik.