Pemberian ASI Berdampak Positif Bagi Ibu dan Bayi, Sekaligus Lingkungan

JAKARTA – Memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi baru lahir hingga usia dua tahun ternyata tidak hanya memberikan manfaat kepada ibu dan anak, tapi juga lingkungan. ASI merupakan sumber daya gratis dan aman yang sangat cocok untuk bayi manusia yang membantu meminimalkan dampak lingkungan.  

Di era di mana perubahan iklim menjadi topik yang tak lagi awam dibahas, pemenuhan nutrisi mulai dari anak-anak hingga dewasa hampir selalu dikaitkan dengan bagaimana menyiapkan makanan tanpa harus berdampak pada lingkungan.

Menyusui dianggap sebagai bentuk pemberian makanan bayi yang paling berkelanjutan.

Tapi pemberian ASI ini masih belum banyak dibahas dalam perbincangan global mengenai kebijakan iklim dan kesehatan umum.

Menurut Sally Goodwin-Mills, konselor laktasi dari Leeds, ASI tidak membutuhkan kemasan, pengiriman atau pembuangan. ASI juga tidak menimbulkan polusi atau membuang-buang sumber daya yang langka.

Pemberian ASI merupakan bagian dari komitmen mengurangi jejak karbon. (Unsplash)

ASI merupakan sumber daya gratis dan aman yang sangat cocok untuk bayi dan membantu meminimalkan dampak lingkungan.

“Tidak ada perilaku kesehatan lain yang memiliki dampak yang begitu luas dan berjangka panjang terhadap kesehatan masyarakat,” ujar Goodwin-Mills.

“Perlindungan, dukungan, dan promosi pemberian ASI membantu menjaga kesehatan planet dan menusia dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan,” imbuhnya.

Memperburuk Kerusakan Global

Seperti diketahui bersama, pemberian ASI memberikan kontribusi sangat penting guna mewujudkan hak atas standar gizi dan kesehatan, hak atas pangan dan hak untuk hidup.

Sementara kurangnya pemberian ASI dapat berdampak buruk pada perkembangan kognitif dan kesempatan seumur hidup anak. UNICEF dan WHO menjelaskan, pemberian ASI juga bisa dianggap sebagai vaksin pertama untuk anak-anak.

Namun di saat hampir bersamaan, pemasaran susu formula makin marak terjadi di masyarakat.  Promosi susu formula secara masif menimbulkan persepsi bahwa ini dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang tidak dapat disusui ASI.

Mengutip WHO, saat ini lebih dari separuh anak-anak di dunia menerima zat selain ASI di enam bulan pertama kehidupan mereka. Penjualan susu formula juga meningkat pesat seiring dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita dan perluasan ekonomi pasar.

Industri makanan, khususnya produksi susu dan daging, menyumbang sekitar 30 persen dari gas rumah kaca global.

Metana yang dihasilkan dari ternak adalah gas rumah kaca yang kuat dan signifikan. (Unsplash)

Susu formula berbahan dasar susu sapi bubuk. Metana yang dihasilkan dari ternak adalah gas rumah kaca yang kuat dan signifikan. Sedangkan produksi susu sapi membutuhkan air hingga 4.700 liter per kilogram bubuk.

Setelah sampai ke konsumen, susu formula bayi juga dibuat dengan air yang telah dipanaskan setidaknya sampai 70 derajat celcius. Energi yang digunakan setara dengan pengisian 200 juta ponsel setiap tahunnya.

"Produksi susu formula bayi yang tidak perlu akan memperburuk kerusakan lingkungan dan harus menjadi masalah yang meningkatkan kepedulian global," kata para ahli di The British Medical Journal.

Mengenai limbah yang ditinggalkan, sebuah penelitian pada 2009 menunjukkan bahwa 550 juta kaleng sufor, yang terdiri atas 86 ribu ton logam dan 364 ribu ton kertas ditambahkan ke tempat pembuangan sampah setiap tahunnya.

Komitmen Mengurangi Jejak Karbon

Tapi sejauh ini hubungan antara pemberian ASI dan lingkungan masih belum terlalu sering dibahas. Pembahasan ASI utamanya masih seputar mengenai manfaat kesehatan untuk ibu dan anak, termasuk mencegah stunting.

Padahal seperti yang telah disinggung, pemberian ASI memiliki dampak besar bagi lingkungan.

Sejumlah laporan baru yang dipimpin oleh para ahli Australia, termasuk dari Universitas Sydney, mengatakan pemberian ASI bisa menjadi carbon offset atau penyeimbang karbon, membantu melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada susu formula yang menyebabkan emisi gas rumah kaca yang belebihan.

“Merawat dan memberi makan anak, termasuk menyusui, adalah pekerjaan yang sangat bergantung pada gender yang seringkali diabaikan dan diremehkan secara ekonomi,” kata Dr Phillip Baker dari Universitas Sydney.

“Kita melihat kurangnya investasi oleh pemerintah dalam mendukung Perempuan dan keluarga yang ingin menyusui,” imbuhnya.

Menurut Baker, pemerinta perlu lebih mengakui kontribusi perempuan terhadap produksi pangan berkelanjutan, termasuk ASI, dalam neraca pangan internasional dan nasional.

Para peneliti mengatakan, seruan untuk mempertimbangkan menyusui sebagai kompensasi karbon tidak semata-mata ditujukan kepada Perempuan yang memiliki tidak menyusui atau yang perlu menggunakan sufor, melainkan seruan kepada pemerintah untuk bertindak.

Dengan pandangan bahwa menyusui sebagai penyeimbang karbon, para peneliti mendorong pemerintah untuk mengubah cara berpikir mereka guna mengurangi permintaan terhadap produk pangan dengan emisi gas rumah kaca tinggi, dan melakukan investasi dalam produksi pangan berkelanjutan.

Sementara itu, Natalie Shenker, Future Leaders Fellow UKRI di Imperial College London, dan rekannya menyoroti penelitian yang menunjukkan bahwa menyusui selama enam bulan menghemat sekitar 95-153 kg CO2 per bayi dibandingkan dengan pemberian susu formula.

Penghematan emisi karbon yang diperoleh dengan mendukung ibu menyusui akan sama dengan mengurangi antara 50 ribu dan 77 ribu mobil setiap tahun.

Oleh karena itu, para peneliti menyerukan tindakan mendesak pemerintah untuk mendukung pemberian ASI sebagai bagian dari komitmen global mengurangi jejak karbon di setiap bidang kehidupan.