Jangan Termakan Iklan Soal Susu Formula Alternatif yang Sama Baiknya dengan ASI
JAKARTA – Pemerintah resmi melarang produsen atau distributor susu formula (sufor) bayi memberikan diskon atau promo yang dapat menarik minat pembeli. Bagi sebagian kalangan, ini merupakan kado menjelang Pekan ASI Sedunia atau World Breastfeeding Week (WBW). Tapi, mungkinkah menghentikan pemberian susu formula?
Larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
"Produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif berupa: pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya sebagai daya tarik dari penjual," tulis Pasal 33 bagian C aturan tersebut.
Peraturan ini dibuat untuk mendukung program pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia enam bulan pertama kelahiran. Pemberian dilanjutkan hingga usia dua tahun dengan tambahan makanan pendamping ASI (MPASI).
Tapi sebagaimana sejumlah pasal dalam PP 28/2024 yang menjadi polemik, larangan iklan susu formula ini juga menuai pro dan kontra.
Tak Sekadar Dukung ASI Eksklusif
Mengutip laman Kementerian Kesehatan, ASI adalah susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat.
ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolaktin dan oksitosin setelah kelahiran bayi. ASI yang keluar pertama disebut kolostrum dan mengandung immunoglobulin IgA yang baik untuk pertahanan tubuh bayi melawan penyakit.
Pemberian ASI eksklusif sangat baik bagi tumbuh kembang bayi. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ASI terdiri atas air sebesar 87,5 persen. ASI juga mengandung karbohidrat, protein, lemak, karnitin, vitamin K, vitamin D, vitamin E, vitamin A, vitamin yang larut dalam air, hingga mineral.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut cakupan ASI eksklusif Indonesia pada 2022 tercatat hanya 67,96 persen. Angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2021 yang berjumlah 69,7 persen.
Baca juga:
- Kesuksesan Veddriq Leonardo dan Rizki Juniansyah di Olimpiade Paris 2024: Pekerjaan Rumah Indonesia Lanjutkan Tradisi Emas
- Perseteruan PBNU dan PKB Masih Lama Berakhir
- Mengenal Sindrom Swyer, Kondisi yang Mungkin Dialami Petinju Aljazair Imane Khelif
- Isu Transgender Petinju Imane Khelif Merusak Sportivitas dalam Olahraga
Karena itulah, pengesahan PP Kesehatan tersebut mendapat sambutan positif dari kalangan pegiat ASI. Salah satunya adalah Siti Nurokhmah, S.Gz., MSc., ahli gisi ibu dan anak dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ia mengatakan, PP ini memperkuat aturan sebelumnya seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu.
“Ibaratnya ini dipertegas lagi aturannya. Peraturan tersebut tidak hanya mendukung ASI eksklusif, tetapi lebih ke pemberian makan pada bayi dan anak usia 0 sampai 2 tahun,” ujar Siti.
Mengancam Penurunan Angka Stunting
Namun demikian, kampanye pentingnya ASI tidak luput dari tantangan. Iklan atau promosi susu formula yang cukup gencar seringkali membuat ibu dihadapkan pada pilihan sulit.
Para ibu seringkali terjebak dengan klaim bahwa susu formula lebih baik dibandingkan ASI karena banyak nutrisi tambahan di dalamnya. Padahal ini adalah pemikiran yang salah.
ASI dengan segudang manfaatnya, memiliki kontribusi besar dalam upaya pemerintah mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia. Menurut Rianda (2023), target pemerintah tentang penurunan stunting hingga 14 persen tahun ini, bakal sulit dicapai jika pemerintah tidak membatasi ketat pemasaran susu formula. Untuk diketahui, tahun 2023 prevalensi stunting Indonesia masih berada di angka 21,5 persen.
Aturan pemasaran susu formula sudah diluncurkan WHO pada 1981 lewat International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes. Namun menurut laporan WHO, Indonesia masih belum secara signifikan mengintegrasikan kode internasional ini.
Pemasaran sufor di pasaran cenderung menciptakan persepsi bahwa sufor adalah alternatif yang sama baiknya dengan ASI. Padahal kenyataannya, ASI adalah yang terbaik untuk bayi.
Pemberian Sufor dengan Syarat
Penggunaan susu formula bukannya sama sekali tidak boleh dilakukan. Pada beberapa kondisi, tidak sedikit ibu yang memberikan sufor. Hal ini bisa disebabkan karena ibu mengalami kondisi tertentu seperti indikasi medis, meninggal, atau terpisah dari bayinya.
Pemberian susu formula merupakan opsi terakhir jika pemberian ASI tidak lagi memungkinkan. Itu pun harus dengan catatan pendampingan dokter. Selain itu, pemberian sufor kepada bayi disarankan tidak menggunakan botol dot, melainkan selang yang ditempelkan pada payudara ibu. Hal ini dimaksudkan untuk merangsang payudara ibu untuk memproduksi ASI.
“Harus tetap mencoba untuk menghasilkan ASI meski menggunakan susu formula,” kata Siti. Jika ASI berhasil keluar, maka penggunaan susu formula maupun ASI donor harus dihentikan dan beralih ke ASI eksklusif sepenuhnya.
“Biasanya beberapa hari kemudian akan keluar ASI-nya,” Siti menambahkan.
Di tengah upaya pemerintah mendukung pemberian ASI eksklusif, tak semua sependapat dengan PP tersebut. Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau KADIN menyebut langkah pemerintah melarang produsen susu formula beriklan kurang tepat.
Ketua Umum KADIN Diana Dewi mengatakan secara umum promosi adalah usaha untuk mengenalkan sebuah produk. Untuk itu, Diana menuturkan pemerintah seharusnya mengawasi peredaran susu formula di pasaran, bukan melarang beriklan.
"Pemerintah dapat melakukan pengecekan dan kontrol secara masif supaya tidak ada susu formula palsu,” katanya.