Nigeria Tahan Tukang Jahit Pembuat Bendera Rusia yang Dikibarkan Saat Demo Anti-pemerintah
JAKARTA - Nigeria menahan beberapa penjahit karena membuat bendera Rusia yang dikibarkan selama protes anti-pemerintah pekan ini di negara bagian utara.
Departemen Pelayanan Luar Negeri (DSS) juga mengatakan dalam postingan di X, pihaknya juga menahan beberapa "sponsor" penjahit tersebut, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dilansir Reuters, Selasa, 6 Agustus, penyelidikan sedang berlangsung. Namun tidak disebutkan berapa banyak penjahit atau sponsor yang ditahan.
Kepala Staf Pertahanan Nigeria, Jenderal Christopher Musa, menyebut pengibaran bendera asing selama protes anti-pemerintah sebagai pelanggaran pengkhianatan setelah ia mengadakan pembicaraan keamanan dengan Presiden Bola Tinubu pada Senin.
“Kami telah mengidentifikasi mereka (yang mensponsori mereka) dan kami akan mengambil tindakan serius terhadap hal itu,” kata Musa kepada wartawan.
Ratusan ribu warga Nigeria telah melakukan protes sejak 1 Agustus menentang reformasi ekonomi yang dilakukan Tinubu yang mengakibatkan berakhirnya sebagian subsidi bensin dan listrik, devaluasi mata uang, dan inflasi yang menyentuh angka tertinggi dalam tiga dekade.
Protes kini telah mereda setelah tindakan keras polisi yang mematikan.
Baca juga:
Di negara bagian utara Borno, Kaduna, Kano dan Katsina, pengunjuk rasa terlihat mengibarkan ratusan bendera Rusia dan beberapa di antaranya menyerukan pengambilalihan militer.
“Kami mengibarkan bendera Rusia karena pemerintahan Tinubu tidak mendengarkan kami. Presiden Rusia selalu mendukung pembangunan negara-negara Afrika, tidak seperti negara lain,” Lawal Kodo, seorang pengunjuk rasa berusia 28 tahun di Kano, mengatakan kepada Reuters pada hari Senin.
Sementara itu, Kedutaan Besar Rusia di Nigeria membantah terlibat.
“Pemerintah Federasi Rusia serta pejabat Rusia mana pun tidak terlibat dalam kegiatan ini dan tidak mengoordinasikannya dengan cara apa pun,” kata kedutaan dalam pernyataan yang dikeluarkan Senin malam.
Protes di Nigeria, negara terpadat di Afrika, terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran Barat atas hubungan keamanan Rusia dengan wilayah tersebut, termasuk negara-negara seperti Mali, Burkina Faso dan Niger di mana para pemimpin militer telah merebut kekuasaan melalui kudeta.