Gatra Jangan Tutup Kuping: Gaji 3 Bulan, BPJS Ketenagakerjaan dan Pasangon Karyawan Wajib Dituntaskan
JAKARTA - Ketua Serikat Karyawan Gatra, Andhika Dinata, meminta manajemen PT Era Media Informasi (Gatra Media Group) tak menutup kuping dengan tuntutan seluruh karyawan usai pemutusan hubungan kerja (PHK). Gatra resmi berhenti beroperasi pada Rabu, 31 Juli 2024 lalu.
Tuntutan karyawan setelah PHK seperti belum dibayarnya gaji per Mei, Juni, Juli 2024, BPJS Ketenagakerjaan yang menunggak hampir 26 bulan, nominal pasangon, hingga karyawan kontrak yang belum didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan
"Sebetulnya kita sudah jenuh juga, selama ini kita tidak pernah mengeluarkan pernyataan sikap ke luar, hampir-hampir tak ada ada.Tetapi jelang berakhirnya Gatra tutup operasi kita lihat belum clear (hak-hak karyawan)," jelas Andhika saat dihubungi VOI, Minggu, 4 Agustus.
VOI telah meminta konfirmasi kepada Direktur Utama PT Era Media Informasi (Gatra Media Group) Hendri Firzani via phone dan WhatsApp. Namun sampai berita ini ditulis, Hendri Firzani belum membalasnya.
Andhika menyebutkan, sebelum resmi pamit, Serikat Karyawan Gatra, para karyawan, telah melakukan beberapa kali rapat dengan manajemen perusahaan, wakil dari holding mengenai hak yang wajib dipenuhi.
Saat itu, manajemen berjanji sebelum 31 Juli, semuanya bakal dirampungkan. Sayang, janji tinggal janji. Hingga detik ini hak karyawan belum dipenuhi.
Lucunya, sambung Andhika, manajemen menyebut keterlambatan Gaji bakal dibayarkan sekaligus dengan pasangon.
"Yang bikin kita geram gaji Mei-Juli belum tuntas dibayarkan. Mei sudah dibayar tapi masih ada sisa. Juni baru beberapa, seperempat lah (dari nominal gaji), kemudian Juli belum ada pembayaran sama sekali. Sebelum tutup operasi perusahaan sudah harus bayar ke karyawan. Tetapi perusahaan berasalan tidak punya cash flow yang cukup, sehingga pembayaran gaji dan sisa gaji bersamaan dengan pasangon. Ini kami kritik! Pasangon saja belum jelas," ucap Dhika.
Perusahaan beralasan kerugian terus-menerus dan terancam pailit sehingga membuat kebijakan pembayaran pesangon menggunakan ketentuan sebesar 0,5 kali. Padahal karyawan tidak menerima laporan keuangan audit dari perusahaan, dan belum ada putusan pengadilan yang menyatakan perusahaan mengalami pailit.
"Ketentuan pemberian pesangon 0,5 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat," lanjut Dhika.
Perhitungan jumlah pesangon karyawan juga tidak sesuai peraturan ketenagakerjaan. Komponen yang seharusnya digunakan perusahaan sebagai dasar perhitungan uang pesangon adalah upah pokok dan segala macam bentuk tunjangan yang diberikan kepada karyawan dan keluarganya, termasuk tunjangan transportasi dan makan. Dalam hitungan pesangon yang digunakan perusahaan, komponen transportasi dan makan ditiadakan. Hal ini membuat uang pesangon yang diterima karyawan menjadi lebih kecil.
Selanjutnya, perusahaan menggunakan dasar penghitungan pesangon dimulai sejak terbitnya SK pengangkatan karyawan. Padahal seharusnya penghitungan masa kerja dimulai sejak hari pertama karyawan mulai bekerja.
"Kemudian persoalan BPJS Ketenagakerjaan per 31 Juli. Kita lakukan cek BPJS ternyata belum dibayar, manajemen bilang akhir Agustus 2024. Tunggakan itu selama dua tahun, atau sekitar 26 bulan. Ini juga belum clear ya," ujar Dhika.
Baca juga:
Tak hanya itu, menurut Dhika, untuk karyawan kontrak juga belum didaftarkan ke BPJS karena tunggakan pembayaran ini."Semoga didengarkan keluhan dari serikat. Karena beberapa pertemuan tidak clear masalah-masalah ini," tambah Dhika.