Harta, Tahta, dan Sepak Bola
JAKARTA – Di Italia, anda belum dikatakan sebagai orang kaya jika belum memiliki klub sepak bola. Idiom ini secara sempurna diperlihatkan oleh keluarga Agnelli, konglomerat super tajir yang telah seabad lebih bergelimang harta.
Klan Agnelli merupakan pengendali utama klub sepak bola terkenal Juventus dengan persentase kepemilikan saham hingga 63 persen. Mereka juga diketahui mempunyai bisnis otomotif paling besar di negeri pizza lewat entitas usaha bernama Fabbrica Italiana Automobili Torino alias FIAT.
Tidak berhenti sampai di situ, keluarga Agnelli juga disebut-sebut sebagai pemilik pabrikan mobil sport Ferrari yang dicaplok melalui holding Exor N.V. Perusahaan ini sendiri dipercaya sukses meraup pendapatan sebesar 144 miliar dolar AS pada 2019 silam.
Jika jeli, simbol kuda jingkrak pada Ferrari identik dengan gambar yang tersemat pada logo Juventus sebelum klub paling sukses di Italia itu berganti identitas pada 2017. Makna tersebut seolah mengungkapkan pesan bahwa dua ‘ladang duit’ ini terafiliasi dengan pemilik yang sama.
Di Inggris, anda tidak punya bahan pembicaraan lain ketika berada di pub kecuali sepak bola. Di negara asal ‘kulit bundar’ ini, sepak bola bak doktrin sosial yang membuat masyarakatnya cepat menyatu dengan kalangan asing. Semua permasalahan akan cair jika berbicara mengenai sepak bola, kecuali satu hal: anda berasal dari klub rival yang dibenci.
Melihat animo yang begitu tinggi, pemerintah lantas memanfaatkan sepak bola sebagai alat kontrol sosial. Caranya, dengan memberikan diskon khusus berupa potongan harga tiket kepada pekerja secara kolektif lewat perusahaan tempat mereka mencari nafkah.
Alhasil, setiap hari pertandingan tiba hampir seluruh stadion di Inggris dipenuhi oleh para fans yang datang untuk menyaksikan langsung tim kesayangannya. Didapati pula bahwa angka kriminal cenderung menurun saat pertandingan sepak bola digelar karena petugas keamanan dapat dengan mudah mengawasi massa yang terkonsentrasi dalam jumlah besar pada satu waktu yang bersamaan.
Lain Inggris, lain pula di Spanyol. Di negeri matador, sepak bola terbelah berdasarkan dua stratifikasi sosial terbesar, yakni Real Madrid dan Barcelona.
Real Madrid jamak digambarkan sebagai kalangan bangsawan dan kaum borjuis. Sementara Barcelona sering diibaratkan kalangan proletar yang termarjinalkan. Akar persaingan dua kubu besar ini sebenarnya terjadi akibat perbedaan latar belakang sejarah dan budaya.
Perang saudara Spanyol pada 1936 dianggap menjadi sumber rivalitas di antara keduanya. Barcelona didukung oleh orang-orang Catalan yang berada di wilayah catalonia. Sementara Madrid identik dengan masyarakat kastil dengan status sosial yang dianggap lebih tinggi.
Tidak heran keduanya hingga kini masih sering menyematkan identitas Catalan pada Barcelona dan Callista bagi Real Madrid.
Meski demikian, sepasang klub sepak bola itu memilih jalur profesional dalam melakoni aktivitasnya. Bumbu-bumbu persaingan Catalan dan Callista hanya digunakan sebagai resep dalam mengolah daya tarik untuk mencetak cuan.
Geliat bisnis menjadi alasan utama dari kegiatan dua klub sepak bola ini di era modern. Hal tersebut dibuktikan dari perputaran uang yang terjadi diantara keduanya.
Menurut lembaga statistik dan data paling terkenal di dunia Statista, klub sepak bola dengan market value terbesar pada 2019 adalah Real Madrid yang disebutkan memiliki taksiran mencapai 4,23 miliar dolar AS. Tempat kedua diduduki oleh rival abadinya Barcelona dengan market value sebesar 4,02 miliar dolar AS.
Bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini, sebagian besar klub sepak bola di dalam negeri masih mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai sumber utama pendanaan. Meski demikian, Indonesia dinilai telah berada di jalur yang tepat untuk membangun industri sepak bola profesional lewat inisiasi sejumlah klub mencari sokongan dana melalui sponsor.
Bahkan, klub sepak bola Bali United telah bertransformasi menjadi perusahaan terbuka melalui mekanisme initial public offering (IPO) pada pertengahan 2019 lalu. Saat itu, Bali United melepas 33,33 persen saham klub dan meraup dana segar sebesar Rp350 miliar.
Terbaru, klub sepak bola Liga 2 Persis Solo dikabarkan tengah mendapat suntikan modal dari beberapa investor strategis. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah nama top disebut bersedia membenamkan dananya di klub kebanggaan wong Solo itu.
VOI mencatat, putra Presiden Joko Widodo yakni Kaesang Pangarep mencaplok 40 persen saham klub, diikuti oleh Direktur PT Plevia Makmur Abadi Mahendra Kevin Nugroho 30 persen, dan Menteri BUMN Erick Thohir 20 persen.
Terkhusus Erick Thohir, birokrat yang juga mempunyai kerajaan bisnis di Indonesia ini bukanlah nama baru dalam industri sepak bola. Dia bahkan cukup aktif mengakuisisi sejumlah klub top mancanegara.
Salah satu yang paling fenomenal adalah ketika membeli saham mayoritas Inter Milan pada 2013 sebesar 70 persen. Berdasarkan informasi yang dirilis Forbes, dia merapat ke klub Inter Milan melalui International Sports Capital HK Limited dengan taksiran pembelian mencapai 250 juta euro.
Enam tahun berselang bos Mahaka tersebut melepas kepemilikan sahamnya kepada Grup Suning dengan perkiraan nilai capital gain sebesar 30 juta euro dari selisih harga saat pembelian saham dan penjualan saham. Nilai itu belum termasuk pemasukan investasi dan pendapatan bunga yang dia peroleh selama ‘berkostum’ Inter Milan.
Erick juga dikabarkan tengah dalam proses pembelian klub Inggris, Oxford United. Saat ini, saham mayoritas Oxford United dimiliki pengusaha Thailand, Sumrith 'Tiger' Thanakarnjanasuth dengan porsi kepemilikan 51 persen.
Merujuk siaran The Telegraph, Minggu, 21 Maret, Erick Thohir dkk berharap dapat menyelesaikan transaksi tersebut dalam beberapa pekan mendatang.
Untuk diketahui, Erick Thohir pernah menjabat direktur Oxford United Sejak November 2018 hingga Oktober 2019, tetapi terpaksa mundur setelah ditunjuk untuk menduduki kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara oleh Presiden Joko Widodo.