Kumpulkan Bankir, 2024 ASEAN-ROK Financial Cooperation Bahas Keuangan Berkelanjutan

JAKARTA - ASEAN-ROK (Republic of Korea) Financial Cooperation Center menyelenggarakan “2024 ASEAN-ROK Financial Cooperation Forum”.

Forum ini diselenggarakan dengan mengusung tema peran badan usaha keuangan dan perbankan sebagai sarana promosi pembangunan berkelanjutan di ASEAN, khususnya dalam memfasilitasi pertumbuhan keuangan berkelanjutan (sustainable financing).

Dalam sambutan pembukanya, Duta Besar Mission of The Republic of Korea to ASEAN, Lee Jang-keun mengatakan, dalam forum kali ini Para ahli di bidangnya masing-masing berkumpul dalam satu tempat untuk memastikan pembangunan berkelanjutan di ASEAN dan berdiskusi mengenai peran badan usaha keuangan dalam pembangunan berkelanjutan.

"Untuk pengembangan sektor keuangan berkelanjutan, kemitraan Korea-ASEAN, yang telah dibangun di berbagai sektor selama bertahun-tahun, juga harus diperkuat dan dipraktikkan di sektor keuangan,” ujarnya, Jumat 5 Juli.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Advisor dari Asian Development Bank (ADB), Satoru Yamadera mengatakan, meskipun pasar obligasi berkelanjutan berkembang sangat pesat di ASEAN, namun masih didominasi oleh sektor publik, sedangkan praktik keuangan berkelanjutan di sektor swasta, terutama di sektor perbankan swasta masih terbatas.

“Proyek ini bisa menjadi tonggak sejarah pembangunan berkelanjutan dan promosi perlindungan lingkungan di kawasan ASEAN,” ujarnya.

Standing Commissioner FSC Lee Hyung Ju mengatakan sektor keuangan harus memainkan peran kunci dalam transformasi ini.

"Mencapai netralitas karbon berarti perubahan mendasar dari perekonomian berbasis bahan bakar fosil.Menurut Badan Energi Internasional, hal ini diperkirakan menelan biaya sekitar 57 triliun dolar AS secara global," ujar Lee dalam sambutannya, Jumat 5 Juli.

Lee menambahkan, memobilisasi modal pada skala ini memerlukan mekanisme keuangan yang kuat. Selain itu, pendanaan global perlu melampaui pendanaan. Hal ini juga mencakup perubahan cara industri keuangan menjalankan bisnisnya dan meningkatkan perilaku masyarakat ke arah yang lebih ramah lingkungan.

Dikatakan Lee, pada tahun 2020, pemerintah Korea menguraikan visinya untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 dan telah menerapkan kebijakan ekstensif di semua sektor.

"Komisi Jasa Keuangan memimpin inisiatif yang berfokus pada tiga pilar utama. Pertama, tingkat pembiayaan. Pada bulan Maret, FSC mengumumkan paket dukungan finansial untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2030 dan 330 miliar dolar akan disediakan untuk membiayai transisi rendah karbon," beber Lee.

Lee menyatakan pada tahun 2030, enam bank komersial akan menyumbangkan 6,5 miliar dolar AS untuk pembentukan Dana Energi Masa Depan yang bertujuan untuk meningkatkan investasi pada industri energi terbarukan.

Lembaga keuangan Polandia akan menambah dana tersebut dengan tambahan 10 miliar dolae melalui pinjaman subordinasi.

"Bersamaan dengan dana ini, investasi gabungan pemerintah-swasta sebesar 2,1 miliar akan digunakan untuk mengembangkan teknologi iklim yang inovatif," lanjut dia.

Ia menambahkan, untuk pilar kedua adalah mendapatkan support keuangan. Krisis iklim memerlukan perubahan di sektor keuangan itu sendiri. Ketika perusahaan menghadapi biaya yang lebih tinggi selama transisi rendah karbon, lembaga keuangan harus beradaptasi untuk memitigasi penurunan profitabilitas dan peningkatan risiko kredit.

"Terakhir, kami mencoba membangun infrastruktur ramah lingkungan. Pemerintah Korea menetapkan taksonomi pada tahun 2021 dan menerbitkan pedoman mengenai tujuan ramah lingkungan pada tahun berikutnya," beber Lee.

Sejalan dengan Lee, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Mahendra Siregar mengatakan, OJK sudah mengembangkan dan menerbitkan taksonomi Indonesia untuk keuangan berkelanjutan yang mempertimbangkan perlunya transisi energi secara bertahap.

"Taksonomi ini dikembangkan dengan menerapkan tata kelola yang kuat dan menekankan kredibilitas serta interoperabilitas, khususnya dengan taksonomi ASEAN," kata dia.

Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia ini juga menjelaskan, dengan diterbitkannya taksonomi tersebut, Indonesia memiliki standar klasifikasi keberlanjutan yang menjadi standar utama dalam mengklasifikasikan kegiatan usaha yang mendukung upaya berkelanjutan dan pencapaian transisi NZE Indonesia.

Adapun taksonomi tahap pertama berfokus pada transisi energi dan investasi pada mineral penting yang mendukung transisi energi.

Sementara taksonomi tahap kedua yang kini sedang diselesaikan akan lebih fokus pada sektor lain.