Bagikan:

JAKARTA - Dampak perubahan iklim sudah sangat memengaruhi perekonomian dan sistem keuangan, termasukdi kawasan ASEAN.

Inisiatif telah diambil untuk memitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Mahendra Siregar mengatakan, saat ini setiap negara telah menetapkan anggaran untuk pengurangan karbon seperti yang tercantum dalam National Determined Contribution (NDC) yang diperbaruhi setiap 5 tahun.

"Merumuskan rencana dan tindakan yang kredibel dan inklusif untuk mencapai target tersebut harus tetap menjadi prioritas," ujarnya saat menjadi pembicara dalam 2024 ASEAN-ROK Financial Cooperation Forum di Jakarta, Jumat 5 Juli.

Dikatakan Mahendra, untuk melakukan transformasi yang sukses diperlukan sinergi pemerintah, dunia usaha, dan lembaga keuangan di tingkat nasional dan internasional. Untuk itu, OJK sebagai regulator telah mengeluarkan beberapa peraturan dan inisiatif untuk mendukung upaya tersebut, antara lain penerapan keuangan berkelanjutan bagi perusahaan jasa keuangan dan publik, perdagangan karbon melalui pertukaran karbon, penerbitan dan persyaratan surat utang atau sukuk yang berbasis keberlanjutan.

"Tahun ini OJK sudah mengembangkan dan menerbitkan taksonomi Indonesia untuk keuangan berkelanjutan yang mempertimbangkan perlunya transisi energi secara bertahap. Taksonomi ini dikembangkan dengan menerapkan tata kelola yang kuat dan menekankan kredibilitas serta interoperabilitas, khususnya dengan taksonomi ASEAN," beber Mirza.

Diluncurkan pada Februari lalu, TKBI merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. TKBI ini merupakan transformasi dari Taksonomi Hijau Indonesia Edisi 1.0. Kerangka, elemen, dan kriteria TKBI mengacu pada ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance dan kebijakan nasional sebagai referensi utamanya.

TKBI mengadopsi empat tujuan lingkungan (environmental objective/EO) dari ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance antara lain mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, pelindungan keanekaragaman hayati, dan ekonomi sirkular.

"Meskipun kami mengadopsi tolok ukur dari taksonomi ASEAN, kami menghindari rujukan pada sistem hijau, kuning, dan merah, namun kami fokus pada industri dan transisi yang ramah lingkungan," tegas Mahendra.

Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia ini juga menjelaskan, dengan diterbitkannya taksonomi tersebut, Indonesia memiliki standar klasifikasi keberlanjutan yang menjadi standar utama dalam mengklasifikasikan kegiatan usaha yang mendukung upaya berkelanjutan dan pencapaian transisi NZE Indonesia.

Adapun taksonomi tahap pertama berfokus pada transisi energi dan investasi pada mineral penting yang mendukung transisi energi.

Sementara taksonomi tahap kedua yang kini sedang diselesaikan akan lebih fokus pada sektor lain.

"Kami akan menerbitkan taksonomi di sektor industri, transportasi dan kemudian di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Sementara taksonomi pertanian juga sedang dikembangkan," beber dia.

Selain taksonomi, lanjut dia, OJK juga belum lama ini menerbitkan panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) yang menentukan bisnis dan strategi bank terkait perubahan iklim.

Adapun CRMS ini dapat dianggap sebagai peta jalan bagi sektor perbankan menuju model bisnis net zero emisi.

"Untuk meningkatkan ekosistem keuangan berkelanjutan, OJK akan terus memperbarui peraturan perundang-undangan mengenai pengungkapan dan pelaporan keberlanjutan, menyelaraskannya dengan standar internasional IFRS S1 dan S2, serta inisiatif relevan lainnya," pungkas Mahendra.