Volvo Kritisi Kebijakan Tarif Uni Eropa, tapi Tetap Targetkan Jadi Brand EV pada 2030
JAKARTA - Uni Eropa (UE) telah menaikkan tarif untuk kendaraan listrik (EV) rakitan China yang diekspor ke negara di benua biru. Mereka menetapkan bea masuk tambahan hingga 38,1 persen untuk mobil listrik China mulai 4 Juli mendatang.
Tentu keputusan ini dinilai kontroversial, terutama dari berbagai pihak termasuk produsen kendaraan listrik di Eropa, salah satunya Volvo.
Volvo, merek otomotif dari Swedia yang kini berada di bawah naungan Zhejiang Geely Holding Group, mengkritisi kebijakan ini dan mendukung perdagangan terbuka dan adil. Volvo menilai tak hanya produsen tapi konsumenlah yang akan membayar tarif ini untuk mendapatkan EV dari China.
“Apa pun yang menghalangi hal tersebut bukanlah hal yang baik,” kata CEO Volvo Cars Bjorn Annwall, dikutip dari Automotive News Europe, Rabu, 19 Juni.
Baca juga:
Hal tersebut juga berdampak terhadap aktivitas produksi dari Volvo. Produsen otomotif tersebut harus memindahkan produksi EV buatan China ke Belgia. Mereka sebelumnya mempertimbangkan untuk menghentikan penjualan mobil listrik buatan China yang ditujukan ke Eropa jika tarif diberlakukan.
Dengan pemindahan ini terutama produksi model EX30 dan EX90 Volvo dari China ke Belgia diharapkan Volvo akan terus bisa berjualan di Eropa. Produksi beberapa model Volvo yang dipasarkan di Inggris Raya juga kemungkinan akan dipindahkan ke Belgia.
Meskipun kebijakan ini merugikan pihak pabrikan, Annwall mengatakan bahwa merek ini tetap mempertahankan perencanaan strateginya dengan menghentikan penjualan mobil pembakaran (ICE) dan hanya menjual EV murni di Eropa mulai 2030 mendatang.
“Beberapa tahun ke depan akan menjadi tahun yang sangat sulit,” tambah Annwall.
Eropa masih menjadi pasar terbesar Volvo dengan memperoleh penjualan 33.252 unit pada Mei lalu (naik 27 persen). Penjualan segmen kendaraan elektrifikasi juga meningkat secara pesat di Eropa hingga 34 persen atau peroleh penjualan 22.028 unit.