Target Lifting 1 Juta Barel Mundur, Bagaimana Nasib Kilang Baru di RI?
JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) yang semula diperkirakan bisa dicapai pada 2030, akan mundur menjadi 2032.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto mengatakan, jika nanti produksi minyak dalam negeri terus turun tentu akan berimbas pasa investasi pada beberapa kilang yang baru akan dibangun salah satunya Kilang Tuban.
Proyek Kilang Tuban ini merupakan proyek milik PT Pertamina (Persero) yang menggenggam 55 persen saham dan perusahaan asal Rusia, Rosneft memegang 45 persen saham.
"Justru kalau nanti produksi dalam negeri terus turun bisa saja investasi Kilang Tuban akan tertunda-tunda karena kita enggak punya bahan bakunya kan. Sementara kerja sama dengan Rusia dan Rosneft," ujar Djoko dalam Energy Corner yang dikutip Selasa 18 Juli.
Sementara kendala lain yang dihadapi RI adalah saat ini RI tidak bisa mengimpor minyak mentah dari Rusia mengingat RI harus menjaga hubungan baik dengan negara lain di saat Rusia dan Ukraina masih terjadi konflik geopolitik.
Menurutnya, dengan terus menurunnya angka lifting bisa menghambat proses pembangunan dan produksi kilang di kemudian hari.
Tak hanya di sisi hulu, dari sisi hilir juga akan terimbas dari kurangnya pasokan minyak dari kilang yang kehabisan bahan bakar.
"Kalau produksi engga ada atau ditunda-tunda sementara 70 persen mau EBT, maka orang akan mau investasi ke EBT. Terlambat. Padahal kita butuhnya sekarang sampai Indonesia Emas di 2035. Puncak emisi 2035," sambung Djoko.
Untuk itu ia menegaskan saat ini Indonesia membutuhkan pasokan crude atau minyak mentah sebagai bahan baku kilang untuk berproduksi. Sehingga jika saatnya nanti Indonesia menuju transisi energi, maka RI bisa mengurangi secara perlahan penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas.
Djoko juga mengatakan, penurunan target lifting 1 juta barel juga akan berdampak pada mundurnya pencapaian Net Zero Emission pada tahun 2060. Apalagi, kata dia, Presiden Joko Widodo juga mengarahkan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar dari energi baru terbarukan seperti bioetanol untuk menuju NZE.
Djoko menambahkan, Indonesia seharusnya terus menggeber lifting minyak agar dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang belakangan masih marak diimpor dari luar negeri.
Djoko juga menyoroti penggunaan minyak mentah sebagai bahan baku produksi kilang. Jika terpenuhi, Djoko mengkhawatirkan, jumlah minyak yang diimpor akan semakin meningkat.
BACA JUGA:
Untuk itu dirinya mendorong agar target lifting terus ditingkatkan dengan long term plan (LTP) sebesar 1 juta barel di tahun 2030. Djoko juga menegaskan seharusnya target lifting ini dipercepat dan bukan malah dimundurkan.
Tidak seperti bahan bakar bensin yang bisa diganti dengan bioetanol, kendaraan listrik dan bahan bakar gas, kemudian elpiji yang diganti dengan kompor listrik, DME atau jargas ke rumah tangga, minyak mentah untuk kilang tidak memiliki alternatif lain selain digenjot liftingnya secara terus menerus
"Impornya mengurangi hanya bisa dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Tidak ada cara lain. Kalau impor solar Alhamdulillah sudah sukses atasi dengan B30 dan B35," pungkas Djoko.