Kegagalan PPP Layak Dijadikan Contoh Malapraktik Politikus dalam Kaderisasi Parpol
JAKARTA – Harapan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melenggang ke DPR hampir pasti kandas. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, partai berlambang Kabah itu gagal menempatkan kadernya duduk di Senayan.
PPP tak mampu melanjutkan tradisi melenggang ke Senayan karena pada Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari, perolehan suara mereka hanya menyentuh 3,87 persen. Dengan angka tersebut, PPP gagal memenuhi syarat parliamentary threshold atau batas ambang parlemen sebesar 4 persen.
PPP kemudian mendaftarkan permohonan sengketa gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilu legislatif ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Maret.
Dalam permohonannya, PPP menggungat hasil pileg di 18 provinsi dan sekitar 30 daerah pemilihan (Dapil) yang dianggap merugikan secara perolehan suara.
Namun tak satu pun gugatan sengketa Pileg DPR RI 2024 yang mereka layangkan dikabulkan. Artinya, partai yang lahir pada 1973 itu untuk pertama kalinya tidak memiliki wakil di Senayan.
Gagal Manfaatkan Kekuatan Politik Islam
PPP berdiri pada 5 Januari 1973 dan merupakan gabungan dari empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Saat itu, kelahiran PPP merupakan hasil dari usaha pemerintah Orde Baru menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.
Sebagai salah satu partai tertua dan satu-satunya partai Islam peninggalan Orde Baru, PPP sebenarnya memiliki modal besar saat Indonesia memasuki Reformasi pada 1998. Sayangnya, mereka tidak mampu mengapitalkan kekuatan politik Islam dan malah terjebak sebagai partai menengah.
“Seharusnya dia bisa pakai itu sebagai jalan memantapkan posisi politiknya di era Reformasi. Paling tidak, dia sudah memiliki bekal-bekal kader, politisi-politisi yang sudah punya ikatan dengan PPP sebelum era Reformasi,” ucap peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiarti.
Selain PPP, ada pula PDI yang merupakan gabungan partai nasionalis, yang sejak 1999 kubu Megawati Soekarnoputri berubah nama menjadi PDIP.
PPP termasuk satu dari tiga parpol yang berpartisipasi pada pemilu legislatif 1977 sampai 1997, bersama Golkar dan PDI. Namun perolehan suara PPP hampir selalu menurun di enam pemilu legislatif di era Reformasi, dari 10,72 persen di 1999 hingga 3,87 persen tahun ini.
Hal ini justru tidak terjadi pada PDIP. Meski perolehan suara partai banteng ini sempat anjlok namun nama PDIP kembali terangkat terutama setelah kadernya, Joko Widodo, memenangkan Pilpres dua periode berturut-turut.
Demikian pula dengan Golkar, yang persentase suaranya pada Pemilu 2024 naik lagi setelah merosot setelah era Orde Baru berakhir. Menurut Aisah, posisi Golkar sama seperti PPP yang menghadapi berbagai masalah di internal partai di era Reformasi.
“Tapi Golkar tetap survive, dan dari konteks sejarah pemilu ke pemilu kan (dia) masuk ke dua atau tiga besar. Beda dengan PPP yang kemudian terjebak di situasi middle political power di parlemen,” ucapnya.
Tak Punya Figur Menonjol
Selain kesulitan keluar dari status partai menengah, PPP juga tak mampu menelurkan figur yang menonjol. Berbeda dengan PDIP yang berhasil menelurkan sosok seperti Jokowi dan Ganjar Pranowo atau Gerindra dengan Prabowo Subianto. PPP malah merekrut Sandiaga Uno menjelang Pemilu 2024. Aisah menilai PPP salah “menaturalisasi” Sandiaga karena tak memiliki “darah keturunan”.
“Kalau naturalisasi di sepak bola masih ada garis keturunan orang Indonesia-nya. Kalau ini melihat Sandiaga, dari mana PPP-nya?” jelas Aisah.
Sandiaga sendiri telah meminta maaf karena tak mampu membantu PPP mewujudkan misi melenggang ke Senayan.
"Jadi saya memang perpindahan ke PPP ini tadinya difokuskan untuk mengangkat suara PPP, belum bisa terwujudkan, saya juga mohon maaf mungkin kalau ada kurang optimalnya dari kinerja selama berkampanye selama PPP," kata Sandiaga di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Antara.
Masalah kaderisasi tidak hanya dialami PPP. Beberapa partai Islam lainnya juga menemui tantangan serupa, termasuk PBB yang hanya mengandalkan Yusril Ihza Mahendra.
Baca juga:
- Regulasi dan Integritas Aparat Jadi Kendala Pemberantasan Judi Online di Indonesia
- Nasib Hilirisasi Nikel setelah Proses Banding Indonesia di WTO Mandek
- Akuisisi Sumber Beras dari Kamboja Bukti Pemerintah Tak Serius Soal Ketahanan Pangan
- Jokowi Mulai Bagi-bagi Kekuasaan Imbal Jasa Pilpres 2024: Praktik KKN di Masa Depan Bakal Makin Parah?
Sementara itu, Partai Gelora dengan Anis Matta dan Fahri Hamzah sebagai ketua dan wakil kedua, serta Partai Ummat dengan Amien Rais sebagai ketua majelis syura juga tidak dianggap mampu bertarung di pemilu legislatif.
Sedangkan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Andriadi Achmad menjelaskan, memang partai Islam kerap mengalami kesulitan sejak Pemilu 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) memang sempat keluar sebagai pemilu edisi pertama pada 1955, namun setelah itu Golkar-lah yang mendominasi dari 1971 sampai 1997.
Di era reformasi atau semenjak mundurnya Presiden Soeharto pada 1998 gantian giliran PDI-P yang berkuasa dengan tiga kali menjadi partai pemenang. Sementara Golkar dan Partai Demokrat sempat berkuasa pada 2004 dan 2009.
Sedangkan dari 18 parpol yang ikut Pemilu Legislatif 2024, hanya delapan yang lolos ke DPR dengan perolehan suara di atas 4 persen. Dari delapan yang lolos, ada dua partai yang identik dengan kelompok Islam, yaitu PKB dan PKS.
Pada 2022, NU mengklaim jumlah anggotanya di Indonesia mencapai 150 juta. Sementara hasil studi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny J.A pada 2023, mayoritas pemilih dari NU malah menempatkan PDIP sebagai partai favorit dengan persentase 21,9 persen.
Di pilihan kedua ada Partai Gerindra dengan porsi 13,6 persen, sedangkan PKB hanya berada di posisi tiga dengan 11,6 persen.
“Nyatanya umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia tidak memilih partai Islam,” ucap Andriadi kepada VOI.
Selain itu, para pemilih yang kebanyakan generasi milenial dan Z pada Pemilu 2024 juga tak mampu dimanfaatkan PPP. Mengacu pada sensus penduduk, jumlah Gen Z mencapai 27,95 persen atau 75,94 juta dari total populasi Indonesia pada 2020 yang sebanyak 270,2 juta jiwa. Sementara generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87 persen. Dengan demikian, Pemilu 2024 didominasi dua generasi tersebut dengan mendekati sekitar 60 persen.
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menyadari hal itu dan menurutnya PPP harus berbenah. "Kita harus evaluasi dalam rangka perbaikan ke depan, dalam rangka merespons perubahan politik yang ada di lapangan," kata Baidowi.
"Karena, ke depan itu tentu situasi politik akan berubah dengan adanya bonus demografi. Kita sudah mempelajari," pungkasnya.