Regulasi dan Integritas Aparat Jadi Kendala Pemberantasan Judi Online di Indonesia
JAKARTA – Praktik judi online makin menjamur, berbarengan dengan kian meningkatnya kegelisahan masyarakat karena makin banyak menelan korban. Yang menjadi korbannya pun bukan hanya masyarakat awam, tapi juga aparat TNI dan polisi ikut terjerat judi online.
Mengunjungi situs judi online sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat yang kecanduan. Padahal, kegiatan ini sudah sering menjadi penyebab aksi kejahatan atau bahkan kasus bunuh diri di Indonesia.
Banyaknya kasus judi online yang terus memakan korban mendapat sorotan dari Presiden Joko Widodo. Sang kepala negara mengatakan, beragam masalah sosial timbul akibat judi online, karena tidak hanya memberi dampak negatif bagi kehidupan, tapi juga mengancam nyawa.
Seorang karyawan minimarket bernama Rieki Saputra (28) membawa kabur uang di toko tempatnya bekerja senilai Rp34 juta di Perumahan Tirta Mandala, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, pada 22 Oktober 2023. Meski sempat kabur, ia berhasil diamankan tim Buser Polsek Sukmajaya. Pelaku kemudian mengaku sudah kecanduan judi online selama setahun terakhir.
Pada Mei lalu, perwira TNI AL asal Sumatra Utara Lettu Laut (K) Eko Damara (31) meninggal dunia karena bunuh diri. Ia diduga nekat mengakhiri hidupnya karena sejumlah masalah, salah satunya karena terlilit utang hingga Rp819 juta akibat judi online.
Terbaru, seorang polwan Brigadir Satu Fadhilatun Nikmah membakar suaminya yang juga polisi, Brigadir Satu Rian Dwi Wicaksono hingga tewas. Fadhilatun marah karena sang suami sering menghabiskan uang belanja untuk main judi online. Apalagi kondisi mereka baru saja dikaruniai anak berusia empat bulan.
Literasi Finansial Rendah
Banyaknya korban judi online sudah menjadi perhatian pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Tapi meski sudah sering memakan korban, hal ini tidak menciutkan nyali para pelaku untuk menghamburkan uang demi memenangkan judi online.
Pengamat keamanan siber dari Vaksin.com Alfons Tanujaya mengungkapkan akar masalah judi online erat kaitannya dengan literasi finansial dan digital masyarakat.
Alfons menjelaskan, tingginya literasi finansial dan digital akan memperbesar pengetahuan masyarakat bahwa judi online secara teknis tidak mungkin menang karena hasilnya sudah ditentukan bandar.
“Bandar semakin banyak, artinya ya bandar menang bukan pemain yang menang,” kata Alfons, dikutip Kompas.
Selain itu, pengelola juga memiliki akses untuk mengatur sistem dan cara kerja mesin slot digital sesuai kebutuhan. Contohnya adalah, korban biasanya diberi kesempatan menang lebih dulu untuk memancing rasa candu.
Baca juga:
- Nasib Hilirisasi Nikel setelah Proses Banding Indonesia di WTO Mandek
- Akuisisi Sumber Beras dari Kamboja Bukti Pemerintah Tak Serius Soal Ketahanan Pangan
- Jokowi Mulai Bagi-bagi Kekuasaan Imbal Jasa Pilpres 2024: Praktik KKN di Masa Depan Bakal Makin Parah?
- Riuh Muhammadiyah Tarik Dana di BSI: Ketika Politik Bikin Urusan Perbankan jadi Runyam
Sementara itu, dosen keamanan digital Universitas Prasetiya Mulya Arie Wibowo mengatakan situs judi online sulit diberantas justru karena tingginya rasa penasaran masyarakat. Ia tidak menampik banyak masyarakat yang terlanjur kecanduan judi online sehingga sulit memberantas situs judi online hingga benar-benar bersih.
“Susahnya memberantas judi online karena beberapa hal, termasuk masalah adiksi dan mudahnya akses ke situs-situs tersebut,” kata Arie ketika dihubungi VOI.
“Selain itu, masalah lingkungan juga ikut berperan dan tingginya rasa penasaran membuat judi online susah dihapus,” imbuhnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan sejak dirinya dilantik sebagai menteri, Kominfo telah memblokir dua juta konten judi. Ia membantah keberadaan judi online yang masih ada sampai sekarang karena Kominfo tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik.
Arie Wibowo mengapresiasi usaha pemerintah memblokir situs-situs judi online. Namun ia menegaskan usaha tersebut menjadi kurang efektif jika tingkat adiksi pelaku sudah tinggi.
Kemauan Personel jadi Hambatan
Mengenai adiksi judi online, psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan, berjudi dapat memberikan sensasi dan dorongan yang kuat, terutama ketika seseorang memenangkan atau mendapat kepuasan emosional. Dikatakan Kasandra, pelaku judi online mengeluarkan dopamine ketika berjudi. Dopamine adalah salah satu neurotransmitter yang membuat seseorang merasa bahagia.
“Orang yang punya masalah dengan adiksi memang punya masalah di situ, seolah-olah tidak ada sesuatu yang menyenangkan kecuali judi, main game, alkohol, dan sebagainya,” tutur Kasandra.
“Zat tersebut menimbulkan adiksi digital. Aktivitas judi yang berulang-ulang dapat memengaruhi sistem hadiah di otak, yang memperkuat perilaku berjudi,” imbuhnya.
Fakta bahwa sejumlah aparat juga terlibat dalam judi online juga menjadi perhatian. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan aparat yang seharusnya memerangi judi online justru malah menjadi pemainnya.
Menurutnya, personel yang tidak disiplin dan lemah membuat aparat jadi mudah terjerumus judi online. Selain itu, Bambang juga menyoroti organisasi yang tidak mampu memastikan etik dan disiplin para anggotanya.
“Terlepas dari itu, kepolisian juga tak mampu melakukan pemberantasan judol,” ujar Bambang.
Sebenarnya, kepolisian memiliki kemampuan dan prasarana yang sangat mumpuni untuk menuntaskan judi online. Tapi Indonesia memiliki kendala regulasi yang berkaitan dengan pola kejahatan siber, termasuk judol yang bersifat stateless atau tidak bernegara.
Tidak sampai di situ, kemauan dan integritas personel pun kerap menjadi hambatan pemberantasan judol hingga ke akar-akarnya. "Selain kendala regulasi terkait dengan pola kejahatan siber yang statesless, kemauan dan integritas personel yang menjadi hambatan," terang Bambang
Sedangkan Arie berpendapat untuk meminimalisir praktik judi online pemerintah bisa menggencarkan edukukasi terkait literasi finansial, selain melakukan pemblokiran terhadap situs judol. Ini dilakukan untuk menguatkan kesadaran pada masyarakat bahwa judol tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga bisa merugikan orang lain.