Kasus Vina: Film, Perkara Hukum dan Kegaduhan Media Sosial

JAKARTA - Kasus Vina melibatkan pembunuhan tragis sepasang remaja, Muhammad Rizky Rudiana dan Vina Dewi Arsita, yang terjadi di Jembatan Talun, Kabupaten Cirebon pada Agustus 2016. Delapan orang dijadikan tersangka dan dihukum atas keterlibatan dalam kasus tersebut.

Berita ini akhirnya menjadi perhatian nasional dan diperbincangkan banyak media dan media sosial. Film yang diproduseri Dheeraj Kalwani dan disutradarai oleh Anggy Umbara, menjadi satu titik poin kasus kriminal yang telah 8 tahun terendap diungkit dan dibicarakan kembali.

Bahkan berbagai penelusuran pihak independen seperti oleh Dedi Mulyadi dan Reza Indragiri menemukan dugaan penanganan kasus hukum ini tidak sesuai prosedur. Terbaru, kasus ini jadi atensi banyak pihak termasuk presiden Joko Widodo, yang memerintahkan agar kasus itu dituntaskan dan dibuka selebar lebarnya.

Atas atensi Presiden itu Kapolri kemudian bergerak. Sabtu kemarin akhirnya Propam Mabes Polri datang ke Mapolres Cirebon untuk memeriksa kasusnya dan memeriksa para penyidik yang terlibat di Polres Cirebon. Polda Jabar bahkan sampai membuka hotline bagi masyarakat yang memiliki informasi atas kasus Vina untuk bisa melapor dan menyampaikan pengaduan.

Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) tahun 2008 - 2009, Susno Duadji menilai berkat film ini kasus pembunuhan yang mungkin akan dilupakan orang kemudian terangkat kembali. "Sudah 8 tahun, orang masih menyisakan pekerjaan dengan 3 DPO, ada orang yang dinyatakan bersalah masih dipenjara. Akhirnya terangkat kembali, itu berkat film ini," ujarnya.

Meski sejumlah orang menyetujui kehadiran film ini. Ada juga pihak yang tidak setuju dengan kehadiran film ini. Protes itu diantaranya dilayangkan pihak Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (Almi) yang mengajukan laporan ke Bareskrim Polri atas penayangan Film Vina: Sebelum 7 Hari. Menurut Ketua Umum Almi, Zainal Arifin film yang mengangkat kejadian kasus pembunuhan Vina itu mengundang banyak kontroversi.

Menurutnya, pemerintah bisa menarik film karena mengundang kegaduhan. Film Vina dipandang vulgar karena menampilkan adegan penyiksaan, penganiayaan sampai dengan pemerkosaan padahal Vina saat itu masih dibawah umur. “Karena dugaan mengandung pornografi, pornoaksi, dan kegaduhan. Jadi ada obyek hukum bisa kami nilai ada pelanggaran pasal 27 UU ITE disana,” imbuhnya.

Tapi, Ketua Lembaga Sensor Film, Rommy Fibri Hardiyanto menepis anggapan itu. Dia menegaskan film tersebut telah lulus sensor dengan kategori batasan umur 17 tahun ke atas. Sehingga karena ada batasan itu orang tua yang menonton film itu tidak membawa anak di bawah kurang dari 17 tahun untuk nonton. Selain itu, film tersebut termasuk kategori fiksi belaka karena di awal film si pembuat film telah mengumumkan hal tersebut.

Meski diangkat dari kejadian nyata, film ini tidak sepenuhnya berisi kejadian nyata tetapi cerita yang ditambahi dengan drama dan imajinasi si pembuat film sehingga sifatnya cerita fiksi.

VIDEO: Para Pemain Film Vina: Sebelum Tujuh Hari Ikut Harapkan Keadilan bagi Vina Cirebon . (TIm grafis Video VOI)

Berkah Film Terhadap Kasus Vina

Inilah berkah viralnya kasus Vina dari penayang film ini. Belakangan bahkan muncul gerakan di media sosial yang mendorong penuntasan kasus Vina, tentu saja disertai dengan analisa dan asumsi netizen. Publik netizen kerap mengarah pada cocokologi dan praduga terverifikasi. Ada juga yang mengungkap identitas orang-orang terduga DPO. Ada medsos sebatas menyajikan konten dan menumpang pansos kasus Vina.

Ada juga medsos yang menayangkan tayangan berbau mistis menghadirkan liputan pemanggilan arwah/qorin untuk bercerita perihal kejadian kasus Vina. Selain juga ada channel yang serius melakukan penelusuran dan investigasi kasusnya, seperti dilakukan Mantan Bupati Purwakarta dan Anggota DPR Komisi VI (2019-2023) dengan chanel Youtube-nya. Tentu saja semua tayangan ini menambah hiruk pikuk pemberitaan. Belakangan para tertuduh yang disebutkan satu persatu dipaksa muncul memberikan klarifikasi atas tuduhan itu.

Namun secara garis besar munculnya film Vina dan kehebohan media sosial telah mengangkat kasus pembunuhan Vina dan Eky pada 27 Agustus 2016 silam, sampai ke titik ini. Semula kejadian pembunuhan yang menyeret 8 orang tersangka yang ditangani Kepolisian Resort Kota Cirebon dan proses pidananya oleh pengadilan setempat. Pengadilan telah menjatuhkan hukuman seumur hidup untuk 7 terdakwa dan satu orang hukuman 8 tahun penjara, serta menahbiskan 3 orang sebagai DPO.

Hari ini kasus tersebut nyaris terjadi titik balik. Perlahan-lahan kasus tersebut terkuak sebagai kasus salah penanganan, atau menyalahi prosedur penanganan perkara. Sehingga masyarakat mendesak polisi segera membebaskan 7 orang yang telah ditetapkan sebagai narapidana dan dihukum seumur hidup. Awal terungkapnya borok itu berasal dari pengakuan, Saka Tatal, salah seorang terpidana yang baru bebas setelah menjalani 8 tahun penjara.

Sebuah Pengakuan

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dari kiri ke kanan: Mahyudin, Wawan Fahrudin, Sri Nurherwati, dan Sri Suparyati saat memberikan keterangan di Bandung, Jawa Barat, Sabtu . (ANTARA)

Dia membeberkan selama di tahanan, bersama 7 tahanan lainya mereka mengalami penyiksaan dan kekerasan agar penyidik mendapatkan pengakuan para tersangkanya. Mereka mengaku tak tahan dengan perlakuan itu sehingga para terdakwa menerima saja ketika divonis hukuman seumur hidup. Saksi lain juga belakangan menguatkan pengakuan Saka Tatal ini, antara lain Liga Akbar.

Liga Akbar yang sempat menjadi saksi di persidangan belakangan menarik kesaksiannya karena merasa tidak tenang. Liga mengaku kesaksiannya di persidangan kala itu telah ditambahi, tidak sesuai kenyataan yang dia ketahui dan lihat. Pengakuan itu diarahkan petugas agar cocok dengan pengakuan saksi lainnya. Padahal menurut Liga, seperti dibenarkan pengacaranya Yudia Alamsyah, kedatangannya di Polres semula untuk mengklarifikasi sejumlah barang bukti milik korban. Saksi sebagai teman korban Eky, adalah orang terakhir yang bertemu sebelum Eky pergi dan ditemukan tewas di Jembatan Talun, awalnya dia dilaporkan korban kecelakaan tunggal.

Awalnya Liga diminta mengenali barang bukti saja. Namun akhirnya di Berita Acara Penyidikan (BAP) juga dimana cerita yang semula hanya soal dia bertemu dengan Eky di SMA, akhirnya diminta dilakukan dengan pengakuan cerita saksi lain yang mengetahui pelemparan batu. Padahal setahu dirinya ia bertemu Eky di SMA 4, kemudian mereka berpisah. Namun di BAP itu ia disebutkan ikut bersama Eky hingga Jembatan Talun, dan sempat membenarkan Saksi lain yang melihat Eky dikejar gerombolan anak yang sedang nongkrong di depan SMA 11, jalan Perjuangan. Menurut Liga, belakangan cerita itu yang membuat hakim telak menghukum para pelaku.

Delapan terdakwa yang kemudian harus menjalani hukuman yakni Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, Rivaldi Aditya Wardana, sementara masih di penjara. Sedang Saka Tatal yang dihukum 8 tahun, sudah bebas. Adapun Polda Jawa Barat secara mengejutkan menghapus dua nama DPO lainnya usai menangkap terduga, Pegi Setiawan alias Perong.

Kasus penangkapan terhadap Pegi Setiawan yang didasarkan pada DPO dari keputusan pengadilan juga dinilai banyak kejanggalan, selain profil tersangka yang tidak cocok dengan DPO sebelumnya. Polisi juga tiba-tiba menganulir keberadaan 2 DPO lainnya, karena alasan polisi tidak yakin dengan keberadaan DPO tersebut. Dari hasil diskusi banyak ahli, dan hasil penelusuran banyak media dan netizen ditemukan banyak kejanggalan dan ketidaksesuaian cerita dan alur kejadian. Mereka juga meragukan proses pembuktian pada sidang sebelumnya.

Dukungan Publik untuk Terpidana Salah Tangkap

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai mengunjungi Pasar Lawang Agung, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, Kamis (30/5/2024). (ANTARA)

Banyak pihak meminta polisi untuk mendeporing dan penahanan Pegi Setiawan, sebelum polisi mengumpulkan bukti-bukti keterlibatan Pegi. Karena kuat dugaan bukti yang dimiliki polisi belum cukup kuat dalam menetapkan Pegi sebagai tersangka.

"Pegi Setiawan, nampaknya korban dari ketergesa- gesaan polisi karena bereaksi dengan Film Vina. Ia mengusulkan polisi mendeponering kasusnya, sambil mencari bukti bukti dan menyarankan telusuri dari awal kasus Eky dan Vina ini sambil mengumpulkan bukti," beber praktisi hukum Deolipa kepada VOI, Selasa, 11 Juni.

Menanggapi kesemrawutan kasus tersebut, Staf Ahli Kapolri, Irjen Aryanto Sutadi mengatakan kasus ini sebenarnya kasus sederhana, ada orang kecelakaan mati, karena ada pihak orang tua korban yang tidak puas dia melaporkankan kasusnya, kemudian ada orang tua yang kebetulan anggota Satnarkoba kemudian ikut menyelidiki.

"Tapi saya melihatnya begini, namanya penyidikan hasilnya adalah BAP. BAP yang diserahkan polisi akan dites dan dikoreksi oleh Jaksa, jka BAP belum lengkap Jaksa akan minta dilengkapi. Jika buktinya kurang minta dilengkapi, kemudian masuk persidangan pengadilan, sebelum sidang hakim juga memeriksa BAP akan diuraikan kembali oleh hakim. Apa benar keterangan saksi dan buktinya. Dan sayangnya pada 2016 itu hakim memutus 8 orang tersangka itu sesuai atau terbukti melakukan perbuatan seperti dituduhkan itu," tuturnya.

Caption

"Kemudian muncul film itu, sehingga muncul asumsi -asumsi yang liar yang berbeda dengan isi BAP. Ditambah dengan kebisingan medsos dengan asumsi yang terus dikembangkan" ujanya.

Pihak masyarakat akhirnya menuding pengadilan 2016 adalah pengadilan sesat, penyidiknya dikritisi oleh para ahli, pemeriksaannya dan kesaktian buktinya juga disoal tidak menggunakan scientific crime investigasi, tidak menggunakan CCTV dan sebagainya. "Sayangnya biar polisi tidak menggunakan scientific investigasi hakim tetap menerima itu?" katanya.

Keruwetan kasus ini, menurut Aryanto, karena masyarakat menerima informasi sepotong sepotong. Masing masing membela pihak yang menurut mereka pihak yang benar yang saling bertentangan. Itulah kenapa kasus ini seakan ruwet. Untuk mengklarifikasi keruwetan, ia menyarankan itu jalan satu-satunya diselesaikan di pengadilan. Tahun 2016 keruwetan itu sudah diselesaikan di klarifikasi pengadilan, selesai. Kemudian keruwetan sekarang ini ada karena film itu, kemudian ada DPO yang tiga belakangan dinyatakan hanya tinggal satu.

Ia mengusulkan untuk adu bukti antara polisi dan pengacara tersangka, polisi silakan mengumpulkan bukti yang memberatkan. dan pengacara mengumpulkan keterangan yang meringankan Pegi, keterangan itu harus masuk ke BAP juga bukti termasuk bukti termasuk yang scientific bila ada.