Detoks Media Sosial dan Kapan Langkah Itu Harus Kita Ambil

Artikel "Patroli Maya Virtual Police" telah mengulas bagaimana perilaku media sosial kelompok masyarakat Indonesia serta turunan hukum yang lahir di sana. Apa benar pemaksaan pakai polisi jadi jalan paling benar? Apa tidak ada upaya yang bisa diambil sebagai kesadaran diri? Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI "Pedang Bermata Dua Sosial Media", tentang detoks media sosial.

Pesatnya perkembangan teknologi media sosial (medsos) bak pedang bermata dua. Di satu sisi, kita bisa memeroleh beragam manfaat medsos, seperti memudahkan komunikasi atau jadi ladang mengais rezeki. Di sisi lain medsos juga memengaruhi kesehatan mental dan bisa membawa dampak buruk dalam interaksi sosial di masyarakat, terutama bagi yang terlanjur kecanduan. Salah satu cara mengurangi dampak buruk itu adalah dengan detoks medsos. Apa itu detoks medsos sebenarnya? Dan kapan kita perlu melakukannya?

Beragam platform media sosial bisa kita pilih, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, sampai yang baru-baru ini muncul seperti TikTok dan Clubhouse. Kemudahan tersebut membuat kita bisa mengetahui kabar teman atau saudara kita semudah menjentikkan jari.

Di Instagram, misalnya. Ketika teman, kerabat atau saudara tengah bepergian atau sedang sibuk dengan pekerjaannya, kita bisa dengan mudah mengetahuinya lewat Instagram Story miliknya. Mungkin beberapa orang akan merasa biasa saja melihat unggahan-unggahan pada media sosial. Namun bagaimana jika melihat unggahan teman malah membuatmu stres atau cemas karena membuat dirimu membandingkan hidup dengan yang kamu lihat?

Ilustrasi (Unsplash/Austin Distel)

Mengutip Cleveland Clinic, beberapa tanda seseorang harus beristirahat sementara dari penggunaan media sosial adalah orang tersebut tidak bisa berhenti membandingkan dirinya. Sering dikatakan media sosial adalah sorotan utama kehidupan seseorang. Tetapi seharusnya tidak membuat orang lain merasa tak mampu atau tidak puas dengan kehidupannya sendiri.

Tanda lain yang membuat kita harus beristirahat dari media sosial adalah ketika ia merasa terganggu dengan semua yang dilihat. Dari politik hingga berbagai hal secara berlebihan. Kita juga bisa marah atau kesal dengan apa yang kita lihat di timeline. Bahkan kita juga bisa merasa stres dengan apa yang kita lihat karena tenggelam terlalu jauh dalam medsos.

Waktunya detoks medsos

Menurut WeAreSocial, pada 2021 sebanyak 170 juta jiwa orang di Indoesia aktif di media sosial. Selain itu, penggunaan media sosial bukan hanya untuk berkomunikasi melainkan untuk belajar, berbisnis, dan lainnya. Meski demikian, apa pun yang berlebihan tidak baik, termasuk dalam menggunakan media sosial. 

Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan komunikasi CISSReC, Pratama Persadha mengatakan masyarakat saat ini menghadapi model kehidupan yang baru dengan WFH dan PJJ, yang artinya hampir 24 jam aktivitas dilakukan melalui internet. Masyarakat dihadapkan pada proses digitalisasi yang cepat, namun belum dibarengi dengan pemahaman berinternet dengan baik di media sosial.

"Banyak waktu dihabiskan di media sosial bisa mengurangi fokus pada hubungan di sekeliling kita termasuk hubungan pribadi, karier bahkan tujuan hidup. Salah satu tandanya yaitu terus menerus memeriksa notifikasi pada layar ponsel, artinya sudah saatnya kita perlu mendetoks diri dari media sosial," ujar Pratama, saat dihubungi VOI

Infografik (VOI/Raga Granada)

Pratama memberikan tips bagaimana detoks media sosial, yaitu dengan memulai pagi hari dengan tidak memainkan barang elektronik yang terhubung dengan internet. Selain itu, juga bisa menghapus sementara aplikasi media sosial pada gawai.

Selanjutnya, bisa mengistirahatkan gawai beberapa waktu pada malam hari. Detoks media sosial juga bisa dilakukan dengan mengganti hobi bermedia sosial dengan hal lain yang lebih bermanfaat seperti membaca atau berolahraga. Selain para pengguna internet juga disarankan untuk pilih media yang positif tentang edukasi, sains, dan menjauh dari topik yang bersifat provokatif.

Tak banyak disadari

Sedari awal, kebijaksanaan dalam bermedsos sangat diperlukan. Jika tak begitu, penggunaan intens media sosial hingga ketergantungan akan berujung pada menurunnya kesehatan diri. Penyembuhannya akan lebih sulit jika sudah begitu. Detoks media sosial pun tak cukup.

Saat VOI hubungi, psikolog, Tika Bisono menjelaskan ketergantungan medsos tentunya melebihi ukuran yang sifatnya normatif. Ia memberi contoh, orang bisa berhenti di tengah jalan hanya untuk mengecek media sosialnya. Sampai di pojokan, keramaian dia langkahnya berhenti, tertinggal oleh teman-temannya karena memerhatikan media sosial. Sampai akhirnya kualitas hidupnya memburuk. 

"Apalagi kalau ada fasilitas yang menunjang dari orang tua, seperti makan di kamar, telepon di kamar, enggak pernah dibersihkan kamarnya, listrik lancar, tidak pernah mati itu komputer, hingga akhirnya jadi sakit orang itu. Belum lagi kecanduan gim, pornografi," ujar Tika Bisono.

Orang yang terlalu candu dengan media sosial akan melihat kehidupan di luar media sosial adalah distorsi, jelas Tika. Mereka akan hidup dalam halusinasi dan merasa kehidupannya adalah di media sosial. Ketika dia harus bertemu dengan manusia di kehidupan nyata, itu sangat mengganggu. 

"Padahal seharusnya media sosial hanya dijadikan sebagai hiburan, realita yang sesungguhya adalah non-media sosial. Contohnya juga bisa dilihat orang yang hp-nya ketinggalan. Dia kayak mau mati hp-nya ketinggalan atau bisanya tidur di sebelah hp-nya. Marah jika hp-nya dipindah," kata Tika. 

Jika sudah parah, ketergantungan media sosial tidak lagi bisa dihilangkan dengan sekadar meng-uninstall aplikasi di gawai. Tika menjelaskan, setidaknya ada dua cara. Cara kecil dengan mendengar nasihat teman atau cara lebih besar yaitu lewat penanganan profesional. 

"Kalau lewat profesional, bisa konseling atau terapi untuk kognitifnya, cara berpikirnya. Tapi nantinya bisa juga next step-nya psikoterapi. Karena dia pindah hidup dan dunia. Itu kan banyak yang harus dibenarin juga. Nah, yang paling parah inpatient, jika dia sudah sampai berhalusinasi," jelas Tika. 

Banyak orang yang mulai melupakan esensi dari adanya media sosial. Padahal, media sosial sebenarnya untuk mempermudah hidup, untuk tetap berkontak dengan teman atau saudara. Penggunaan yang berlebihan justru merusak pengguna itu sendiri, sadar atau tidak sadar. 

Sebelum semua terlambat atau keadaan lebih parah, lebih baik sedari awal menggunakan media sosial ingat bahwa segala yang di media sosial bukan realitas dan hanya sekadar alat komunikasi atau hiburan. Karena selain orang lain yang mengingatkan, diri sendirilah yang lebih penting mengontrol segalanya dalam hidup. 

"Kalau kita memahami filosofi digital, media sosial, online engagement. Para pebisnis teknologi seperti Bill gates, Zuckerberg memiliki filosofi online engagement itu tidak ada yang tujuannya untuk menghancurkan kualitas hidup manusia," tutup Tika. 

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: "Pedang Bermata Dua Sosial Media"