Tapera Kebijakan Nirguna: Kewajiban Menyediakan Hunian Warga adalah Tanggung Jawab Pemerintah, Bukan Rakyat
JAKARTA – Iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera masih menjadi perbincangan hangat, terutama setelah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan program iuran ini tetap berjalan pada 2027.
Presiden Joko Widodo mengatur kebijakan tersebut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera. Kebijakan ini banjir penolakan, tidak hanya di kalangan pekerja tapi juga pemberi kerja.
Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi Indonesia Morowali Industrial Park atau SBIPE IMIP, Henry Foord Jebs, menolak kebijakan ini karena dirasa tidak ada manfaatnya untuk buruh. Ia juga pesimistis iuran yang masuk untuk Tapera nantinya bisa kembali ke kantong pekerja.
“Kami menduga ini cara pemerintah untuk menutup defisit APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara)” tutur Henry.
Selama pemerintah tidak melakukan intervensi apa pun terhadap penguasaan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru, maka harapan menyediakan hunian yang terjangkau dinilai hanya angan-angan.
Tidak Logis
Sejak Jokowi meneken PP mengenai Tapera pekan lalu, warganet ramai-ramai menolak kebijakan ini. Pasalnya, para pekerja harus menambah pemotongan sebanyak 3 persen dari gaji setiap bulannya untuk membayar iuran Tapera. Sebanyak 2,5 persen dibayarkan oleh pekerja dan sisanya dibayar pemberi kerja.
Padahal sebelumnya, karyawan sudah harus membayar Pajak Penghadilan (PPh), BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
Program Tapera yang ditujukan untuk pembiayaan hunian rakyat yang terjangkau dianggap mustahil diberikan. Potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 3 persen tidak bisa memberi rumah dengan harga pasaran.
“Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah,” kata pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar.
Jehansyah menambahkan, KPR subsidi dengan harga rumah Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter. Sedangkan di era sekarang ini, cukup sulit menemukan tanah dengan harga seperti itu. Kalaupun ada, malah lokasi rumahnya yang tidak terjangkau alias jauh dari kota.
"Di Ciseeng (Bogor) saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau,” imbuhnya.
Jehansyah juga menyebut langkah pemerintah yang tiba-tiba mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru adalah percuma.
Padahal jika mau meniru negara lain yang memiliki peraturan serupa, pemerintahnya lebih dulu menciptakan produksi dengan cara membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, lalu menyusun tata ruang, termasuk huniannya.
Ketika sudah memiliki rancangan yang matang, langkah berikutnya adalah memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap daerah, dan terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.
"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance,” tegasnya.
Baca juga:
- Di BP Jamsostek Ada Program Cicilan Rumah, Lantas Apa Urgensi Tapera?
- Berkaca pada Pengalaman Ikang Fawzi di BPJS Kesehatan, Bagaimana Seharusnya Pelayanan Publik Hadapi Hari Libur?
- Putusan MA Soal Batas Usia di Pilkada Serentak 2024 Tanda Keagresifan Presiden Joko Widodo Bangun Kekuasaan
- Refleksi Insiden MRT Jakarta: Transportasi Publik Tak Hanya Perlu Canggih, tapi Juga Dijamin Aman
Jehansyah melanjutkan, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama gotong royong bisa disebut penipuan. Karena, kewajiban menyediakan rumah bagi warga adalah tanggung jawab pemerintah, bukan rakyat.
Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasa negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak,” Jehansyah menegaskan.
"Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus,” kata dia menambahkan.
Sudah Diterapkan di Negara Lain
Dalam sebuah kesempatan, Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan, program ini ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.
Budi menjelaskan, ada sekitar 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak memiliki rumah tiap tahunnya. Sedangkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah, menurut dia, sangat terbatas. Itulah sebabnya, Tapera dinilai bisa menjadi salah satu jalan yang bisa mengatasi persoalan tersebut.
Menurut Dirjen Pembiayaan Infrastuktur Kementerian PUPR Herry Triasaputra Zuna, Indonesia bukan satu-satunya yang menerapkan aturan serupa. Ia mengatakan, beberapa negara lebih dulu memiliki program mirip Tapera. Secara umum, nama internasional untuk program ini dikenal sebagai public housing services atau social housing.
“Ada banyak negara yang sudah menerapkan. Yang paling dekat mungkin dengan Singapura, Central Provident Fund, sifatnya wajib. Kemudian Malaysia Employees' Provident Fund itu juga sifatnya wajib sumbernya sama dari tenaga kerja dan pemberi kerja. Di China ada Housing Provident Fund, dan di Korea Selatan ada National Housing Fund, dan ada banyak lagi negara yang lain," kata Herry dalam Konferensi Pers Kantor Staf Presiden mengenai Tapera di Jakarta, Jumat (31/5).
Central Provident Fund (CDF) adalah sistem jaminan nasional di Singapura yang pertama kali dilaksanakan pada 1968 dan bertujuan membantu warga menabung untuk masa pensiun. Besaran uran CPF tiap kepala berbeda-beda, tergantung pada usia, yaitu berkisar antara 12,5 persen dan 37 persen dari gaji bulanan masyarakat.
Lewat skema ini, menandai perkembangan signifikan dalam kebijakan perumahan Singapura, yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kepemilikan hunian di negara tersebut dan keamanan finansial warga negaranya.
Di Malaysia, kebijakan yang mirip Tapera dinamakan Employees Provident Fund (EPF) atau Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP). Dari laman resmi KWSP diketahui ini merupakan salah satu perusahaan yang mengelola uang simpanan tertua di dunia karena berdiri sejak 1951.
Baik pekerja maupun pemberi kerja menyumbangkan persentase dari gaji bulanan pekerja ke EPF, yang besaran iurannya ditentukan pemerintah dan didasarkan pada usia pekerja serta status kependudukan.
Program serupa dengan Tapera juga diterapkan di China, yaitu Housing Provident Fund (HPF) atau dana menyedia perumahan. HPF adalah program tabungan perumahan jangka panjang, yang terdiri dari simpanan wajib bulanan oleh pemberi kerja dan pekerja. Dana tabungan yang terkumpul hanya dapat dicairkan ketika pekerja akan membeli hunian.