Vaksin Nusantara Ditolak Negara
JAKARTA - Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan bangga memamerkan vaksin COVID-19 temuannya dalam rapat di DPR. Terawan mengklaim vaksin yang ia namai vaksin Nusantara itu dapat jadi solusi bagi pengidap komorbid berat serta yang memiliki autoimun.
Terawan menjelaskan Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, yang kemudian dipaparkan dengan antigen dari Sars-Cov-2. Karena itu, menurut Terawan vaksin Nusantara akan memiliki kegunaan individual terhadap sasaran vaksinasi.
"Saya waktu selaku Menkes berperan serta di dalam kegiatan anak bangsa yang ingin mengembangkan vaksin berbasis dendritik sel. Yang tentunya sifatnya autologus, individual, dan tentunya sangat-sangat aman," kata Terawan dalam agenda Rapat Kerja bersama Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 10 Maret.
Pengembangan dan uji klinis vaksin ini merupakan kerja sama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat, Universitas Diponegoro, dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
Terawan menuturkan, sejak 2015, dirinya telah mengembangkan sel dendritik di cell cure center di RSPAD Gatot Subroto. Karenan perkembangan pandemi COVID-19 di tanah air, ia pun mengaku langsung berinisiatif mengembangkan virus berbasis sel dendritik.
Terawan juga mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah mempublikasikan berbagai jurnal ilmiah internasional tentang penelitian ini. Hanya saja jurnal tersebut masih banyak berbasis sel dendritik untuk kanker, bukan untuk COVID-19.
Kekurangan dan kelebihan Vaksin Nusantara
Peneliti Bioteknologi di Universiti Putra Malaysia Bimo Ario Tejo menjelaskan, terdapat kelebihan dan kekurangan vaksin dengan menggunakan Sel Dendritik (DC).
Kelebihannya antara lain dapat didesain lebih spesifik dengan menggunakan antigen khusus untuk mengaktifkan sel dendritik. Kemudian dapat mengaktifkan sel T dan diduga kekebalannya bertahan lebih lama dibanding vaksin inactivated konvensional.
Sementara kekurangannya yakni prosesnya panjang dan memerlukan fasilitas khusus sehingga kurang sesuai untuk program vaksinasi massal.
"Biayanya sangat mahal dibanding vaksin konvensional," ujar Bimo dikutip Rabu, 10 Maret.
Pro dan kontra Vaksin Nusantara
Dalam rapat yang berlangsung di Gedung DPR, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito membeberkan beberapa hal dalam penelitian Vaksin Nusantara. Menurutnya penelitian vaksin ini tidak sesuai kaidah medis.
Di antaranya, terdapat perbedaan lokasi penelitian dengan pihak sebelumnya yang mengajukan diri sebagai komite etik.
"Pemenuhan kaidah good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini. Komite etik dari RSPAD Gatot Subroto, tapi pelaksanaan penelitian ada di RS dr Kariadi," kata Penny dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Rabu, 10 Maret.
Padahal, kata dia, setiap tim peneliti harus memiliki komite etik di tempat pelaksanaan penelitian yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan keselamatan subyek penelitian. Berbeda dengan Penny, anggota DPT justru mendukung vaksin temuan Terawan ini bisa dikembangkan.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Rahmad Handoyo justru menuding Penny K. Lukito tidak independen. Tudingan itu menyusul upaya perizinan uji klinis II vaksin nusantara yang alot.
Rahmad menganggap vaksin nusantara yang digagas Terawan Agus Putranto seolah dipersulit dalam prosesnya. Padahal hasil uji klinis fase I menunjukkan tidak ada efek samping serius yang terjadi terhadap para 30 relawan.
"BPOM tidak mungkin dipaksa, tidak boleh, dan UU mengatakan BPOM amanat rakyat untuk pengawasan obat. Hanya, kalau dari diskusi begono-begini dan temuan dari teman-teman kita saat rapat kerja di daerah, Semarang, bahwa ibu (Kepala BPOM Penny K. Lukito) tidak independen," cecar Rahmad dalam agenda Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Rabu 10 Maret.
Tim Vaksin Nusantara pasrah
Dukungan penolakan terhadap penemuan vaksin membuat tim peneliti pesimis vaksin Nusantara bisa digunakan di dalam negeri. Tim peneliti vaksin nusantara mengaku pasrah jika kemudian pemerintah terpaksa menyetop proses uji klinis.
Sikap itu diutarakan menyusul keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang belum juga memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis II. BPOM sebelumnya menilai masih ada kaidah klinis yang tidak dipenuhi pada tahapan uji klinis I vaksin besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tersebut.
Menurut tim peneliti, sejauh ini sudah memenuhi pakem-pakem klinis untuk penelitian dan pengembangan vaksin. Mulai dari uji pra-klinis pada binatang hingga uji klinis fase I yang menyasar manusia.
Meski begitu, diakui tim, uji pra-klinis pada binatang tidak dilakukan di Indonesia, melainkan dilakukan oleh pihak sponsor, yakni AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat.