Hari Pendidikan Nasional: Menciptakan Sekolah yang Menyenangkan Tanpa Kekerasan Masih Sekedar Impian
JAKARTA – Kasus kekerasan di satuan pendidikan kerap menjadi sorotan dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Mungkinkah menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman?
Setiap 2 Mei, Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tapi setelah menetapkan Hardiknas pertama kali pada 1959, dunia pendidikan Tanah Air masih dilimpahi segudang pekerjaan rumah, di antaranya kasus kekerasan yang kian marak terjadi.
Ihwal kekerasan yang tak ada habisnya, tampaknya masih menjadi mimpi buruk dunia pendidikan Tanah Air. Belum lama ini terjadi aksi bullying yang melibatkan anak artis di SMA Binus School Serpong. Tapi kasus perundungan tersebut hanya satu dari rentetan aksi kekerasan yang dilakukan di satuan pendidikan.
Kekerasan Masih Subur
Kasus kekerasan di satuan pendidikan tidak terbatas pada aksi bullying antar siswa. Bisa saja yang terjadi adalah murid memukul guru, guru menampar murid, kepala sekolah menganiaya guru, bahkan orangtua pun tidak sedikit yang melakukan kekerasan kepada guru.
Sejumlah kasus kekerasan yang sempat viral di media sosial beberapa bulan terakhir siswa SMP di Cilacap, Jawa Tengah, yang memukul, menyeret, dan menginjak siswa lain. Ada pula kejadian lain seorang siswa SD berkata kasar dan hendak memukul gurunya di Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di Demak, Jawa Tengah, seorang siswa madrasah Aliyah memukul guru karena dilarang ikut ujian.
Belum lagi deretan kasus kekerasan lain baik yang di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi maupun Kementerian Agama. Bahkan untuk satuan pendidikan di bawah Kemenag ada yang sampai menimbulkan korban jiwa.
Seperti AH (13) santri salah satu Ponpes di Tebo (Jambi) mengalami patah tulang tengkorak dan pendarahan otak. SM (14) santi di salah satu Ponpes di Banyuwangi juga meninggal dunia karena dianiaya teman-temannya, sementara AM (17) yang merupakan santri di salah satu Ponpes di Kediri dianiaya temannya hingga meninggal.
Rentetan kasus kekerasan di satuan pendidikan memantik keprihatinan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Mereka menyayangkan sikap Ponpes yang kerap tidak jujur menyampaikan pada orangtua terkait kematian santrinya.
“Seperti AH, santri Ponpes di Tebo dilaporkan pihak Ponpes kepada orangtua tersengat listrik. Sementara hasil otopsi menunjukkan ada kekerasan yang mengakibatkan patah tulang tengkorak kepada dan ada pendarahan otak,” kata FSGI dalam keterangan tertulis yang diterima VOI.
Itu hanyalah sejumlah kasus dari banyak kasus yang terungkap di media sosial dan media massa. Banyak yang meyakini bahwa kasus-kasus kekerasan lain di sekolah baik fisik, verbal, maupun mental yang tidak terungkap. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi semua, tapi ternyata menjadi medan kekerasan berbagai pihak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, pada periode Januari sampai Agustus 2023 menerima 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak. Dari jumlah itu, ada 87 kasus perundungan, 27 kasus terkait pemenuhan fasilitas pendidikan, dan 24 kasus korban kebijakan pendidikan. Selain itu, anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 236 kasus dan 487 anak korban kekerasan seksual. Namun, tidak semua kasus itu terjadi di sekolah.
Sementara data Yayasan Cinta Guru hingga September 2023 menyebut ada 93 kasus kekerasan di sekolah dalam bentuk diskriminasi, intoleransi, kekerasan fisik atau seksual, perundungan, hingga kekerasan lainnya.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga memanfaatkan momen Hardiknas 2024 untuk menyampaikan keprihatinan atas tingginya kasus kekerasan di sekolah. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan hingga saat ini belum ada tanda-tanda adanya penurunan kasus kekerasan di sekolah.
Baca juga:
- Tiket Konser Sheila On 7 Ludes Terjual dan Alasan Ilmiah Seseorang Sulit Menerima Musik Baru
- Kasus Mayat Perempuan dalam Koper: Terminologi Femisida Masih Awam di Telinga Masyarakat
- Perbedaan Penanganan Kasus Galih Loss dan Gilbert Lumoindong Bisa Bikin Publik Makin Tak Percaya Bhayangkara Negara
- Program Merdeka Belajar Belum Mampu Menjawab Persoalan Dasar Pendidikan
"Kekerasan di sekolah masih tumbuh subur, belum ada tanda-tanda tren penurunan kasus kekerasan," kata Ubaid dalam diskusi Hardiknas 2024 Lanjutkan Merdeka Belajar? Pada 2 Mei 2024.
Bahkan, ia memprediksi kekerasan di sekolah akan terus mengalami kenaikan hingga Desember 2024. Tren peningkatan kasus kekerasan di sekolah dapat dilihat dari kasus yang terjadi hingga April tahun ini, yang sudah mencapai 106 kasus. Menurutnya, angka ini sudah lebih tinggi dari data 2022.
Adapun kasus yang paling mendominasi adalah kekerasan seksual. Angka kasus kekerasan seksual di sekolah mencapai 61,29 persen dari total kasus.
"Kekerasan seksual di sekolah angkanya mencapai 61,29 persen, kemudian diikuti perundungan 18,92 persen, kekerasan psikis 8,11 persen, kekerasan fisik 6,31 persen, dan lain sebagainya," beber Ubaid.
Kekerasan dan Pola Asuh
Menurut sejumlah pakar, pelaku perundungan biasanya memiliki sifat agresif, impulsif, gila popularitas atau kuasa, serta suka mendominasi. Sedangkan korban perundungan cenderung memiliki sifat sensitif, pendiam, atau diabaikan dan kurang mendapat perhatian orangtua.
Baik pelaku maupun korban perundungan umumnya sama-sama tumbuh dalam pola pengasuhan yang otoriter. Anak dibesarkan dengan menggunakan kekerasan verbal dan fisik untuk mendisiplinkan mereka dan menuntut kepatuhan penuh anak pada orangtua.
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti, Msi, mengatakan rumah atau keluarga adalah pusat pendidikan, tempat pertama dan paling penting untuk membentuk perilaku anak. Anak yang menerima perlakuan yang menyenangkan di rumah, maka dia pun akan bersikap menyenangkan di sekolah. Sebaliknya, anak-anak yang sering mendapat kekerasan di rumah maka dia akan melampiaskan kemarahannya kepada teman-temannya di sekolah.
“Anak yang melakukan kekerasan biasanya dapat kekerasan di rumah. Bullying atau perundungan ini sangat bergantung pada masa lalu anak. Sekolah adalah rumah kedua, sementara rumah pertama anak adalah keluarga, yaitu di rumah. Apa yang terjadi di sekolah adalah bentukan dari rumah,” ujar Retno Listyarti kepada VOI.
Hal senada juga diungkapkan psikolog Tika Bisono, M.PsiT, yang menekankan pentingnya peran keluarga, dalam hal ini orang tua, dalam membentuk perilaku anak. Keluarga yang bahagia biasanya akan melahirkan anak-anak yang bahagia juga, sehingga mereka tidak melakukan perundungan.
Pola asuh tertentu disebutkan Tika Bisono dapat mendorong akan untuk melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, kepada orang lain yang lemah karena itu dilakukan sebagai bentuk mempertahankan diri atas ketidakmampuan dia d rumah.
“Dari banyak kasus perundungan, hampir selalu berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, dan budaya sebuah keluarga. Pola asuh otoriter dari anggota keluarga ke pihak lain bisa memengaruhi perilaku anak di sekolah,” tutur Tika Bisono.
“Karena di rumah mereka tidak bisa membalas, maka untuk membalas itu dilakukan di luar. Membalas ini sebetulnya mekanisme pertahanan diri, supaya seimbang, supaya dia survive atau bertahan,” tandasnya.
Masih dalam momen Hardiknas, kekerasan di sekolah sedianya menjadi hal krusial yang harus dibenahi. Karena biar bagaimana pun, sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk semua yang terlibat di dalamnya.