Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di Angka 3,2 Persen

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut kondisi global saat ini belum baik-baik saja.

Bahkan, kata dia, pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini bakal stagnan di angka 3,2 persen.

Perkiraan itu mengutip laporan terbaru World Economic Outlook yang diterbitkan oleh Lembaga Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada April 2024.

“Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan yang berkembang,” katanya dalam paparan hasil rapat triwulanan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), secara virtual, Jumat, 3 Mei.

Sri Mulyani bilang perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh pada level 2,5 persen secara tahunan atau year on year (yoy) untuk tahun 2023 dan masih akan menguat di 2024. Kata dia, hal tersebut didorong oleh menguatnya permintaan domestik dan aktivitas manufaktur AS.

“Masih kuatnya kinerja ekonomi Amerika Serikat tersebut diikuti dengan laju inflasi yang masih tinggi dan meningkat pada beberapa bulan terakhir telah mendorong potensi penundaan dimulainya pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed. Ini artinya higher for longer terjadi di Amerika Serikat,” tuturnya.

Sementara, sambung Sri Mulyani, diperkirakan ekonomi China melambat dari 5,2 persen yoy pada tahun 2023 menjadi 4,6 persen di tahun 2024.

“Pada bulan April 2024, dinamika ekonomi keuangan global mengalami perubahan sangat cepat dengan kecenderungan ke arah negatif. Akibat eskalasi perang di timur tengah dan juga ketegangan geopolitik yang makin tinggi,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Sri Mulyani, juga dipengaruhi kebijakan monetar Amerika Serikat yang cenderung mempertahankan suku bunga lebih tinggi lebih lama, higher for longer, dan penundaan pemangkasan suku bunga dari Fed Fund Rate.

“Serta tingginya yield dari US Treasury telah menyebabkan terjadinya arus modal portfolio keluar dari negara-negara berkembang dan emerging pindah ke Amerika Serikat. Dan ini menyebabkan penguatan mata uang dolar AS dan melemahnya nilai tukar berbagai mata uang dari berbagai negara,” ucapnya.