Gen-Z Perlu Jaga Kesehatan Mental di Era Media Sosial

JAKARTA - Gen-Z sangat lekat tiga kata, yaitu Kreatifitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental. Dalam budaya digital masa kini Gen-Z menjadi kekuatan dominan, baik dari sisi kreativitas juga dalam kemunculan tren baru. Tak hanya itu, 95 persen Generasi Z menghabiskan waktunya secara aktif di media sosial.

Karena itu, dibalik berbagai eksplorasi kreatif di dunia digital, generasi ini juga dihadapkan pada tantangan literasi digital, seperti manajemen identitas digital dan pola berpikir secara daring. Berdasarkan sebuah studi, mayoritas Generasi Z kurang memahami risiko identitas daring, sehingga seringkali muncul permasalahan yang mengganggu kesehatan mental.

Bagaimana tren digital di Indonesia pada tahun 2024, sehingga Genz jadi lebih siap terhadap strategi dan terbuka pada setiap kesempatan, tapi kesehatan mental tetap terjaga? Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyelenggarakan Obral Obrol liTerasi Digital, pada Jumat, 26 April yang mengangkat topik "TrenGenZ: Kreativitas, Koneksi, dan Kesehatan Mental di Dunia Digital."

Generasi Z memiliki potensi menciptakan tren dalam banyak medium, karena didukung oleh fasilitas yang mungkin belum tersedia pada generasi sebelumnya. Menurut Anita Wahid selaku Penggiat Literasi Digital dari Mafindo, meski Gen-Z mendapatkan julukan sebagai generasi paling kreatif, namun sejatinya setiap generasi memiliki porsi kreatifitasnya masing-masing.

Anita juga menambahkan bahwa Gen-Z lahir dan tumbuh dalam lingkungan perkembangan teknologi yang pesat dan mudah. Sehingga, banyak kesempatan dalam membuat karya yang melibatkan sensori dengan kemudahan artificial intelligence. Gen-Z merupakan generasi memiliki kemampuan menampilkan sisi keaslian diri mereka, tanpa takut terhalang konsekuensi sosial yang kaku seperti pada generasi sebelumnya.

Tak hanya itu, Gen-Z juga mampu mengkolaborasi ide kreatif dalam dunia kewirausahaan, seperti yang akhir-akhir dirasakan bahwa banyak usaha yang memiliki 'taste' khas dari generasi Z.

"Usaha yang baru-baru yang inovatif, biasanya selalu ada gairah dan jiwa GenZ,” ujar Anita.

Sementara itu, perkembangan dunia digital yang terus berkembang memerlukan satu kemampuan dalam menjalin relasi dengan beragam platform yang ada. Sebagai perwakilan suara generasi Z, Yofania Asyifa Jami selaku Founder @pasti.id & Mental Health Influencer mengaku memiliki cara unik dalam mengembangkan potensi diri di dunia digital.

Yofania yang juga survivor kesehatan mental, berbagi tips dalam mengoptimalkan potensi diri Gen-Z dengan aneka platform digital yang ada sesuai preferensi, tergantung pada minat dan bakat masing-masing, seperti penyuka tulisan, dapat menggunakan X, sedangkan penyuka audio visual dapat menggunakan Instagram atau YouTube.

Yofania juga menambahkan, meski bebas mengungkapkan apapun di media sosial, terutama yang positif tetap saja harus ada batasnya. Ia pun menyarankan untuk tidak berbagi berlebihan, terutama terkait data pribadi di media sosial. Bagi Yofania, media sosial dapat digunakan sebagai sarana berinteraksi secara real time meski ada jarak yang memisahkan. Semakin beragamnya platform, juga membuka peluang untuk memperluas jaringan peretemanan dan interaksi sosial di dunia digital.

"Walaupun virtual, kita memiliki rasa keterlibatan secara langsung dan memiliki koneksi lebih. Kalau dulu kan kita hanya bisa sebatas komentar. Saat ini banyak platform yang membuat kita lebih terkoneksi," imbuh Yovania.

Sedangkan menurut Marissa Meditania selaku Psikolog Klinis, tantangan yang dihadapi gen-Z di era sosial media yang pesat ini adalah soal pencarian jati diri. Karena rentang umur gen-Z saat ini antara belasan tahun hingga 25 tahun, merupakan masa awal dalam menentukan langkah selanjutnya, dan biasanya banyak gen-Z yang sedang berada pada persimpangan jalan dalam mengambil keputusan.

Media sosial mudah untuk diakses oleh siapapun dan kapanpun, menjadi rentan terhadap kondisi yang merugikan, karena itu tetap harus menetapkan batasan dalam penggunaan media soial. Marissa menambahkan saat menggunakan media sosial, otak mengeluarkan dopamin, zat dalam otak yang membuat orang merasa rileks, sehingga media sosial sering menjadi pelarian dari masalah kehidupan nyata.

"Duh, susah banget ngadepin tantangan kerjaan. Jadi main game dan medsos atau yang berelasi dengan gadget. Karena secara alamiah merasa rileks kita bisa addiction. Dan ketika tidak menggunakan gadget ada titik dimana seperti pengguna narkoba atau rokok yang sulit menetralisir perasaan terhadap gadget. Dan ketika tidak menggunakan gadget jadi cemas," ujar Marissa.

Namun, tantangan dunia digital tidak hanya dihadapi gen-Z saja. Dengan kadar yang berbeda-beda setiap generasi sedang menghadapi tantangan dunia digital yang semakin tak terbendung.