Review Film Persahabatan Bagai Kepompong, Pesan Persahabatan yang Kuat di Antara Kebimbangan Dimensi Cerita

JAKARTA - Film Persahabatan Bagai Kempompong garapan Rumah Produksi Max Pictures dan Frame Ritz bisa dinikmati di Netflix sejak tanggal 26 Februari lalu. Film ini merupakan spin off dari sinetron Kepompong yang tayang 13 tahun silam. 

Namun, film ini menampilkan warna berbeda dengan sinetron dan dengan sederet aktor dan aktris remaja pilihan, diantaranya adalah Bio One dan Baby Tsabina dan Yasamin Napper. 

Film Persahabatan Bagai Kepompong akan lebih fokus pada isu pembully-an di kalangan remaja. Kasus yang sudah lama jadi perhatian banyak pihak, dikemas dalam problema remaja di sekolah.

Cerita berawal dari Ben yang harus pindah SMP dengan sepupunya Isabel. Isabel sering membully-nya sebagai anak mami dan cupu, padahal Ben sudah kehilangan sosok mamanya. Rasa sebal Ben kemudian dibawa ke sekolah hingga ke Geng Kepompong yang diketuai oleh Isabel.

Penampilan Ben dengan kacamata tebal membuatnya langsung masuk ke golongan yang sering dibully di sekolah. Isabel mencoba terus membelanya namun Benjustru salah sangka. 

Hubungan mereka tambah rumit ketika muncul Paula yang menumbuhkan benih cinta di hati Ben. Paula naksir Ben, tapi Ben tak berani karena ditindas geng yang naksir Paula. Ditambah Paula adalah musuh bebuyutan Isabel.  

Dari sinilah semua cerita dibangun oleh Alim Sudiyo dengan teratur dan runut sehingga mudah dimengerti. Bersama dengan sutradara Sentot Sahid, pesan dalam cerita film ini bisa tersampaikan dengan baik. Bahwa lingkungan sekolah tidak senyaman  kebanyakan orang tua pikir. Sering kali, kita justru enggak bisa menjadi diri kita sendiri saat berada di lingkungan kompetitif bernama sekolah.

Sekolah adalah rumah kedua tempat anak-anak menghabiskan waktu terbesar mereka. enggambarkan kalau membina sebuah persahabatan itu tidak mudah. Di antara banyak perbedaan, harus menekan ego dan saling menghargai satu-sama lain supaya persahabatan tetap utuh.

Kontradiksi Ruang dan Waktu

Kehadiran Lulu Tobing sebagai ibu Isabel memberikan garis yang jelas ke arah mana cerita film ini akan dibawa. Fungsi keluarga dimainkan apik olehnya. Termasuk ketika menegaskan bahwa bully secara daring di media sosial kian marak.

Sayangnya, pesan yang disampaikan secara verbal dan tegas itu justru tidak disesuaikan dalam cerita filmnya. Ada kebimbangan dimensi waktu dan cerita film ini. Secara visual semua penampilan, gaya bergaul, hingga gaya pacaran sangat kekinian. Namun, bully yang ditampilkan masih pola lama era 90-an dimana kekerasan fisik mendominasi. 

Film adalah penanda zaman, cerita yang dikembangkan harus disesuaikan dengan setting waktu dan tempat cerita berawal. Film ini memiliki kontradiksi antara penampilan dan gaya pergaulan yang dipaparkan dengan pola bully yang masih menggunakan kekerasan. 

Mengapa ini penting untuk diperhatikan? Karena film ini ditujukan untuk remaja 13 tahun ke atas yang notabene-nya saat ini lebih banyak 'tersiksa' secara mental ketika terjadi perundungan digital. Penonton akan mudah relate dengan ceritanya jika saja pemilihan pola bully lebih dimutakhirkan. 

Tapi, untuk saya yang sudah melampaui usia 30 ke atas, film ini jadi semacam reuni untuk lagu dan sinetron populer Kepompong di tahun 2008. Garapannya lengkap untuk pembangunan cerita, karakter kekinian yang ditampilkan secara konsisten, penampilan rapi, juga lagu-lagu yang menyertainya nampak diperhatikan dengan detail sehingga tak perlu berfikir banyak kita sekali lagi akan ingat perundungan itu bukan perbuatan baik. 

>