Atasi Dampak COVID-19, Pemerintah Beri Stimulus Industri Agar Terus Bergerak
JAKARTA - Pemerintah berupaya untuk menekan disrupsi terhadap proses produksi, distribusi, dan rantai pasok pada sektor industri manufaktur di dalam negeri akibat dampak virus corona (COVID-19). Langkah strategis yang dijalankan, antara lain yakni menjaga ketersediaan bahan baku agar industri manufaktur dapat terus beroperasi secara berkelanjutan.
“Karena diketahui, bahwa 30 persen bahan baku yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri berasal dari China. Maka itu, pelaku industri nasional perlu melakukan corporate action untuk mencari negara-negara alternatif yang bisa memasok bahan baku bagi kebutuhannya masing-masing,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Jumat 13 Maret.
Namun demikian, Menperin menambahkan, pemerintah juga memahami terbatasnya alternatif sumber bahan baku industri, yang membuat harga menjadi naik dan diperebutkan oleh industri-industri dari negara lain yang membutuhkan.
“Karena tidak hanya industri di Indonesia saja yang membutuhkan bahan baku itu, tetapi industri-industri lain di dunia juga mengalami masalah yang sama,” ujar Menperin.
Oleh karena itu, pemerintah kembali mengeluarkan stimulus ekonomi, yang meliputi stimulus fiskal dan nonfiskal. Tujuannya adalah untuk menjaga agar sektor industri tetap bergerak serta memacu daya beli masyarakat demi mendorong kinerja ekonomi nasional.
Stimulus fiskal yang diluncurkan dalam rangka penanganan COVID-19 meliputi relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Pelonggaran pajak ini diberikan melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100 persen atas penghasilan dari pekerja dengan besaran sampai Rp200 juta pada sektor industri pengolahan (termasuk Kemudahan Impor Tujuan Ekspor/KITE dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor–Industri Kecil dan Menengah/KITE IKM).
PPh 21 DTP tersebut diberikan selama enam bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020. Nilai besaran yang ditanggung pemerintah diperkirakan mencapai Rp8,60 triliun. Diharapkan, para pekerja di sektor industri pengolahan tersebut mendapatkan tambahan penghasilan untuk mempertahankan daya beli.
Selanjutnya, relaksasi PPh 22 Impor yang diberikan kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE IKM. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan selama enam bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pembebasan sebesar Rp8,15 triliun.
Baca juga:
Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor).
Kemudian, relaksasi PPh 25 yang diberikan melalui skema pengurangan sebesar 30 persen kepada 19 sektor tertentu, Wajib Pajak KITE, dan Wajib Pajak KITE-IKM selama 6 bulan terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp4,2 triliun.
Sebagaimana halnya relaksasi PPh Pasal 22 Impor, melalui kebijakan ini diharapkan industri memperoleh ruang cashflow sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor dan negara tujuan ekspor). Selain itu, dengan upaya mengubah negara tujuan ekspor, diharapkan akan terjadi peningkatan ekspor.
Ada 19 Sektor
Selain itu, juga diberikan relaksasi bea masuk impor sektor industri. Agus menyebutkan, ada 19 sektor industri yang akan dibebaskan bea masuk agar mudah mendapatkan bahan baku. Jumlah tersebut berdasarkan usulan dari pelaku usaha. Dengan begitu ada 1.022 kode HS yang masuk dalam relaksasi dan telah melalui verifikasi tahap pertama.
Sementara yang perlu mendapat prioritas, di antaranya sebesar 313 HS dengan dasar prinsip percepatan keberlangsungan produksi. Ke depan, pemerintah terus mengevaluasi dan jika dibutuhkan pengaturan-pengaturan yang terbaru, dipastikan akan dapat dilakukan.
Berikut daftar 19 sektor manufaktur yang mendapat relaksasi untuk impor bahan bakunya, yakni industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, industri alat angkutan lainnya, industri makanan, industri logam dasar, industri kertas dan barang dari kertas, industri minuman, industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional, serta industri kendaraan bermotor, trailer, dan semitrailer.
Selanjutnya, industri karet, barang dari karet, dan plastik, industri barang galian bukan logam, industri pakaian jadi, industri peralatan listrik, industri tekstil, industri mesin dan perlengkapan YTDL, industri barang logam, bukan mesin, dan peralatannya, industri percetakan dan reproduksi media rekaman, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, industri furnitur, serta industri komputer, barang elektronik, dan listrik.
Pemerintah juga melakukan relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui restitusi PPN dipercepat (pengembalian pendahuluan) bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE-IKM. Restitusi PPN dipercepat diberikan selama enam bulan, terhitung mulai bulan April hingga September 2020 dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp1,97 triliun.
Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir, sementara bagi para non-eksportir besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp5 miliar. Dengan adanya percepatan restitusi, Wajib Pajak dapat lebih optimal menjaga likuiditasnya.
Sementara itu, guna melengkapi paket kebijakan stimulus fiskal, pemerintah juga telah menyiapkan empat paket kebijakan nonfiskal yang bertujuan untuk lebih memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor. Pertama, penyederhanaan dan pengurangan jumlah Larangan dan Pembatasan (Lartas) untuk aktivitas ekspor yang tujuannya untuk meningkatkan kelancaran ekspor dan daya saing.
Kedua, penyederhanaan dan pengurangan jumlah Lartas untuk aktivitas impor khususnya bahan baku yang tujuannya untuk meningkatkan kelancaran dan ketersediaan bahan baku. Ketiga, percepatan proses ekspor dan impor untuk Reputable Traders, yakni perusahaan-perusahaan terkait dengan kegiatan ekspor-impor yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Dan, keempat, peningkatan dan percepatan layanan proses ekspor-impor, serta pengawasan melalui pengembangan National Logistics Ecosystem (NLE).
“Dengan relaksasi dan pembebasan bea masuk terhadap bahan baku industri tersebut, tidak akan boleh menganggu produk-produk yang sudah dihasilkan oleh industri di dalam negeri. Selain itu, tidak boleh ada produk impor barang jadi. Intinya, pemerintah tidak mau ada free rider,” papar Menperin.