China Kritik RUU AS yang Memaksa Divestasi atau Larangan TikTok
JAKARTA - Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Kamis 14 Maret bahwa tidak ada keadilan yang bisa diungkapkan dalam mengutip keamanan nasional untuk mengurangi keunggulan kompetitif negara lain. Hal itu disampaikan saat mengkritik sebuah RUU AS yang memaksa divestasi atau larangan TikTok, pekan ini.
Langkah tersebut merupakan langkah terbaru dalam serangkaian langkah di Washington untuk merespons kekhawatiran keamanan nasional AS tentang China, mulai dari kendaraan terhubung hingga chip kecerdasan buatan canggih hingga derek di pelabuhan AS.
RUU pada Rabu, 13 Maret, yang disahkan dengan suara mayoritas Dewan Perwakilan Rakyat AS, akan memberikan waktu sekitar enam bulan kepada pemilik TikTok asal China, ByteDance, untuk melepaskan asetnya di AS dari aplikasi video pendek tersebut, atau menghadapi larangan.
"Penyelenggaraan RUU ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS membiarkan Amerika Serikat berdiri di sisi yang berlawanan dengan prinsip-prinsip persaingan yang adil dan aturan perdagangan internasional," kata juru bicara kementerian luar negeri China, Wang Wenbin.
"Jika alasan keamanan nasional yang disebutkan dapat digunakan untuk dengan sengaja menekan perusahaan superior negara lain, maka tidak akan ada keadilan yang bisa diungkapkan," tambahnya.
China secara konsisten telah menyatakan bahwa Amerika Serikat memperluas konsep keamanan nasional, dan Wang sebelumnya mengatakan tindakan bullying yang mereka gambarkan, mengganggu ketertiban perdagangan internasional yang normal, dan pada akhirnya akan kembali ke mereka.
"Peningkatan penanganan (serius) AS terhadap masalah ini membiarkan dunia melihat dengan jelas apakah persaingan berdasarkan aturan yang disebut Amerika Serikat bermanfaat bagi dunia atau hanya untuk kepentingan diri sendiri," tambahnya.
Legislator AS telah menimbulkan ketakutan bahwa data pengguna TikTok AS dapat diserahkan kepada pemerintah China.
Nasib TikTok, yang digunakan oleh sekitar 170 juta orang Amerika, telah menjadi isu utama di Washington, di mana para pembuat kebijakan mengeluh bahwa kantornya telah dibanjiri oleh panggilan dari pengguna TikTok yang menentang legislasi tersebut.
Wang mengatakan AS tidak menemukan bukti pelanggaran keamanan nasional oleh TikTok, tetapi menyalahgunakan kekuasaan negara untuk menyerang perusahaan tersebut.
CEO TikTok, Shou Zi Chew, telah mengatakan bahwa perusahaan tersebut tidak pernah berbagi atau menerima permintaan untuk berbagi data pengguna AS dengan pemerintah China, menambahkan, "Dan TikTok tidak akan menghormati permintaan seperti itu jika pernah ada."
Di sisi lain, beberapa tahun lalu, China sendiri sudah melarang beberapa Big Tech asal AS untuk beroperasi di China. Google dan Facebook memang telah dilarang beroperasi di China selama beberapa waktu.
Alasan di balik larangan tersebut melibatkan kendali yang ketat dari pemerintah Tiongkok terhadap internet dan konten yang dapat diakses oleh warga negaranya. China menerapkan firewall internet yang dikenal sebagai "Great Firewall" untuk mengontrol dan membatasi akses ke situs-situs web tertentu, serta memonitor dan memfilter konten yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Larangan tersebut terlihat sebagai bagian dari strategi pemerintah China untuk menjaga kontrol atas informasi yang tersebar di dalam negeri, serta untuk melindungi industri teknologi dalam negeri dari persaingan asing. Dalam beberapa kasus, perusahaan asing seperti Google dan Facebook diminta untuk mematuhi regulasi dan sensor yang ketat, atau mereka akan dilarang beroperasi di China.
Di sisi lain, larangan TikTok di AS juga terkait dengan kekhawatiran keamanan nasional, terutama terkait dengan privasi data pengguna. Amerika Serikat mengkhawatirkan bahwa data pengguna TikTok, yang dikelola oleh perusahaan China, dapat diserahkan kepada pemerintah China dan digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai.