Rokok yang Dianggap Meningkatkan Risiko Penularan COVID-19
JAKARTA - Ikatan Dokter Indoensia (IDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi, dan Komunitas Pengendalian Tembakau satu suara menganggap bahwa merokok meningkatkan risiko penularan virus corona.
Kepala Eijkman Kemenristek Amin Soebandrio memaparkan, gejala infeksi corona secara umum adalah demam, batuk, sesak napas, dan kesulitan bernapas, yang berhubungan dengan paru-paru.
Sementara, kandungan racun dan nikotin dalam tubuh seseorang yang merokok mengakibatkan meningkatnya reseptor ACE2 dalam paru-paru. Ketika reseptor tersebut meningkat, sel dalam tubuh akan memfasilitasi virus yang menjadi infeksi virus corona tersebut.
"Ibaratnya, merokok itu membuat peningkatan sel seperti pelabuhan yang memfasilitasi penularan virus corona. Sebab, merokok dapat mengubah sel paru menjadi lebih rentan terhadap infeksi corona karena ada sel yang memfasilitasi masuknya virus tersebut," tutur Amin di Kantor IDI, Jakarta Pusat, Jumat, 13 Maret.
Dengan meningkatnya ACE2 dan memfasilitasi virus, selanjutnya akan meningkatkan ekspresi DCS. Dampaknya, ekspresi ini akan meningkatkan respons peradangan paru-paru (pneumonia), gejala yang sama dengan virus corona.
Di tempat yang sama, Ketua Pokja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Feni Fitriani mengklarifikasi informasi tentang merokok dapat mengurangi potensi infeksi corona seseorang, dengan alasan tubuh menjadi hangat sehingga virusnya mati.
Padahal, menurut Feni, tanpa adanya transmisi virus corona dari orang yang positif saja, para perokok mengalami kerentanan di saluran nafas, yang merupakan gejala mirip corona. Faktanya, 80 sampai 90 persen orang pengidap kanker paru itu adalah perokok.
"Karena efeknya merokok itu jangka panjang setelah 20 tahun, tidak secepat COVID-19, maka orang abai. Jadi, menunda-nunda berhenti merokok, mungkin berharap mereka enggak kena," jelas Feni.
Maka, dengan adanya penjelasan ini, Feni berharap perokok aktif dapat mengurangi konsumsinya atau berhenti sekalian, baik perokok konvensional maupun perokok elektrik.
"Dengan adanya corona, perokok lebih punya motivasi untuk berhenti karena takut terkena virus COVID-19," ucap dia.
Baca juga:
Kepala Eijkman Kemenristek Amin Soebandrio menambahkan, beberapa temuan menyebutkan hubungan antara perokok dan karakteristik pasien terinfeksi corona.
Sekelompok peneliti dari Cina yakni Beijing Institute of Microbiology and Epidemiology, University of Florida, dan Chinese Center of Disease Control and Prevention menyebutkan, keparahan corona pada pasien laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sebab, laki-laki di China kebanyakan adalah perokok berat.
"Studi ini juga menyebutkan bahwa 61,5 penderita pneumonia berat akibat virus corona adalah laki-laki, dan tingkat kematiannya sebanyak 4.45 persen. Angka ini lebih tinggi dari pasien perempuan yakni 1,25 persen," jelas Amin.
Tanggapan Komunitas Kretek
Pernyataan ini menghadirkan tatapan miring dari Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo. Kepada VOI, Aditia merasa tak semestinya ada pihak yang mendiskreditkan perokok di tengah wabah virus corona.
"Ada begitu banyak orang yang tidak merokok juga terkena virus corona. Jangan kebanyakan kampanye antirokok di masa berat seperti ini," kata Adit dalam pesan singkat.
Lagi pula, kata dia, besar kecilnya potensi penularan virus corona berasal dari kegiatan kontak langsung (contact tracing) dengan pengidap corona, serta seberapa tinggi daya tahan tubuh seseorang.
"Di posisi perokok, yang penting tetap jaga kesehatan. Semua orang punya potensi terkena corona virus," tutup dia.