OTT Nurdin Abdullah: Bahaya Sampai Pilkada
JAKARTA - Ditangkapnya Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditanggapi pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing. Ia menilai maraknya kepala daerah yang dicokok KPK sebagai momentum introspeksi bersama sistem politik Indonesia. Bahayanya sampai pilkada.
Dengan kata lain harus ada sesuatu yang dikoreksi dan dikaji dalam sistem demokrasi khususnya di gelaran pilkada. "Saya berhipotesis, ada yang salah dari sistem politik pilkada," ujar Emrus dihubungi VOI, Sabtu, 27 Februari.
Direktur Eksekutif Emrus Corner ini memaparkan hal-hal yang kemungkinan perlu diperbaiki dari proses pelaksanaan pilkada, yakni terkait sistem rekrutmen bakal calon kepala daerah yang akan diusung partai politik dan panggung belakang politik terkait pilkada.
"Kalau di-breakdown, pertama dari aspek rekrutmen apakah dicalonkan partai atau independen? Bakal calon ini kan harus benar-benar dilakukan rekrutmen yang memang bagus, terutama integritas yang kukuh tidak goyah dengan apapun. Baru selanjutnya kapabilitas dan profesionalitas. Yang utama itu adalah integritas," jelas Emrus.
Menurut dosen di Universitas Pelita Harapan itu, profesionalitas bisa dibentuk mulai 1-2 tahun masa jabatan. Namun integritas, kata dia merupakan karakter. "Jadi sesuatu hal yang menurut saya perlu dievaluasi mendalam baik yang direkrut atau diajukan dengan partai maupun independen itu integritasnya," kata Emrus.
Politik uang dalam partai
Kemudian, terkait panggung belakang politik, Emrus menilai faktor-faktor yang tidak diketahui publik jangan sampai disalahgunakan oleh elit politik itu sendiri. Misalnya, ada 'pelicin' untuk meloloskan calon kepala daerah.
"Bukankah banyak wacana diruang publik tentang beli perahu misalnya. Bukankah ada yang disebut money politic bahkan ada ada yang dinamakan serangan fajar, artinya wacana money politic masih ada. Karena itu ada sesuatu yang harus kita perbaiki. Dua hal, rekrutmen dan panggung belakang politik," katanya.
Baca juga:
Sehingga, sambung Emrus, perlu adanya perbaikan dan kajian yang mendalam terkait sistem demokrasi. Misalnya, mantan kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya dipertanyakan saja kendala dan yang dibutuhkan saat kampanye untuk tujuan pengamatan bukan proses hukum. Hal itu guna memperbaiki model demokrasi pilkada yang efektif dan efisien.
"Saya kira sudah sangat mendesak perlu dilakukan pengkajian dan evaluasi secara komprehensif terhadap sistem politik pilkada untuk melahirkan solusi, agar pelaksanaan demokrasi pilkada lebih baik ke depan, pada 2024 mendatang," pungkas Emrus.