Lambat Panen, Penyebab Harga Beras Meroket

JAKARTA – “Kalau belum makan nasi, berarti kita belum makan.” Itulah ungkapan atau guyonan yang menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari.

Sayangnya, belakangan ini Indonesia yang (dulu) terkenal dengan “gemah ripah loh jinawi” yang artinya tentram, makmur dan sangat subur tanahnya dihantam kelangkaan beras. Stok yang kosong dan melambungnya harga beras menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi masyarakat.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun kelimpungan mencari penyebab kelangkaan beras di masyarakat. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengungkapkan, salah satu penyebab kelangkaan dan melonjaknya harga beras di pasaran adalah masa panen beras di dalam negeri yang lambat sehingga pemerintah harus memasok beras impor ke pasaran agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.

“Beras itu memang kita lambat kan panennya. Tanamnya lambat, panennya lambat. Tetapi kan pemerintah sudah isi dengan impor yang banyak,” ujarnya.

Tapi, selain berupaya menggelontorkan beras impor ke masyarakat, pemerintah juga ingin memastikan bahwa impor beras ini tidak merugikan petani lokal. “Sekarang di petani harga beras itu kan dibeli Rp11.000-an, gabah itu Rp8.000 jadi tinggi sekali. Nah untuk mengatasi harga mahal itu, pemerintah, Bulog suplai ke pasar-pasar dari 100.000 sampai 200.000 ton per bulan, sekarang ditingkatin 250.000 ton,” tambah Zulhas.

Dia juga menyatakan, dari sidak ke beberapa pasar, kelangkaan beras di pasaran juga disebabkan oleh para pedagang yang enggan menjual beras dari Perum Bulog, yang dianggap hanya menghasilkan keuntungan yang sedikit bagi mereka. Sebab, beras Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) dari Bulog dibanderol Rp10.900 per kilogram sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan.

Foto: Dok. Kementerian Perdagangan

“Rupanya kemarin di pasar itu pedagang pasar agak malas jual beras Bulog yang berasnya bagus tapi harganya murah karena disubsidi karena untungnya sedikit cuma Rp200,” tutur Zulhas.

Solusinya, pemerintah memberikan insentif agar keuntungan bagi para pedagang yang menjual beras SPHP lebih besar yakni menjadi Rp500. Harapannya, para pedagang tertarik untuk menjual beras lebih banyak ke masyarakat.

Bahkan, lanjut Zulhas, pedagang bisa mendapatkan untung lebih besar lagi jika menjual beras dengan ukuran eceran selama pengemasan beras ukuran kecil itu dilakukan sendiri.

“Kalau dikirim karungan, pedagang bisa packing sendiri dapat upah lagi Rp210. Kita mau untung Rp500, jadi bisa Rp710, menarik gitu. Mudah-mudahan ini pedagang pasar akan tertarik untuk membantu masyarakat yang kesulitan karena harga beras naik, ada beras Bulog yang bagus, harganya murah karena disubsidi,” bebernya.

Sementara Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman memastikan bila perkembangan produksi tanaman padi dan jagung pada tahun ini berjalan dengan sangat baik. Hal ini karena pemerintah sejauh ini terus melakukan pengairan sawah di pulau dan luar pulau jawa dengan menggunakan pompa air.

Hasilnya, dari luasan tanaman pada Desember 2023 lalu sudah melebihi target bulanan yakni sebesar 1,5 juta hektare. Angka tersebut meningkat pada musim tanam Januari 2024 yang mencapai 1,7 juta hektare. “Di Desember (2023) kita tanam 1,5 juta hektare, Januari (2024) 1,7 juta hektare. Kalau kita mau memenuhi kebutuhan bulanan itu minimal tanam 1 juta hektare per bulan,” ungkapnya.

Tingkatkan Produktivitas Pangan dengan Pompanisasi di Lahan Rawa

Selain pompanisasi, pemerintah juga terus bergerak cepat melakukan optimasi lahan rawa untuk meningkatkan produktivitas. Di sisi lain, Kementan juga memberikan insentif benih gratis kepada petani yang mau melakukan perluasan.

Mentan juga menyebut, salah satu cara yang akan diambil untuk menggenjot produksi beras adalah meningkatkan distribusi air ke sawah-sawah. Caranya, dengan memompa air dari sungai yang pembangunannya akan dilakukan oleh PUPR.

Hal tersebut dilakukan untuk membantu meningkatkan produksi di sejumlah sentra pertanian baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. “Itu yang kita lakukan untuk meningkatkan produksi, yang pertama adalah pompanisasi yang ada sungai besar seperti Bengawan Solo, Cimane dan lain-lain. Kita memasang pompa untuk menaikkan airnya ke sawah,” tuturnya.

Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono menambahkan bahwa pihaknya masih menunggu titik-titik lokasi pertanian untuk dialiri air. Setelah itu, pihak PUPR akan mencari titik air terdekat. Fokus utamanya adalah menyasar daerah persawahan yang lebih tinggi dari jalur irigasi. Melalui pompa tadi, air akan bisa menjangkau sawah, sehingga produktivitas akan meningkat.

“Di daerah Jawa ini 500 ribu hektare sawah untuk diairi, menanam lebih efisien lebih efektif lebih luas, daerah-daerah yang irigasi di bawah, sawah di atas kita pompa. Kita pompa 500 ribu di Jawa dan luar Jawa 500 ribu,” katanya.

Meski demikian, Basuki masih belum bisa memastikan kapan program ini dimulai. Namun, Kementerian PUPR memiliki dua target musim tanam, yakni, musim tanam April-September dan Oktober-Maret.

Impor Bukan Solusi untuk Menekan Harga yang Melambung

Foto Antara

Komoditi beras merupakan bagian dari produk pertanian berbasis musim sehingga naik turunnya harga bisa terjadi disebabkan oleh musim tanam. Kenaikan harga beras yang tinggi di awal tahun diprediksi akan bertambah menjadi lebih tinggi.

Menurut Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, rencana impor beras dari Thailand ini, adalah untuk menanggulangi harga bahan pokok tersebut yang tinggi bahkan lebih tinggi lagi. “Ini bisa jadi antisipasi melalui rakornas dan ratas, tentunya dengan persetujuan presiden dan menteri. Tahun lalu 2,8 juta ton, tahun ini rencananya dua juta ton, tetapi kalau misalnya produksi dalam negeri cukup berarti impor itu tidak jadi,” imbuhnya.

Dia menilai, harga beras yang tinggi di pasaran dalam beberapa waktu terakhir diakibatkan oleh tingginya ongkos produksi, hingga dampak El Nino 2023, yang membuat waktu tanam mundur. “Pertama, memang ongkos produksinya naik, di pupuknya naik, kemarin dampak dari El Nino kekeringan, kemudian air juga kurang, panennya itu berkurang, sehingga hasilnya berkurang, otomatis harga naik,” jelas Sarwo.

Dia juga menepis anggapan bahwa kenaikan harga beras ini terkait dengan waktu yang menjelang Ramadhan. Sarwo mengatakan, kenaikan ini memang dampak waktu tanam padi yang mundur dan El Nino.

Selain itu, Bapanas membantah tudingan maraknya penimbunan beras sehingga membuat harga melonjak tinggi di pasaran. Sarwo berharap dengan langkah-langkah yang diambil Bapanas dan Bulog, harga beras diharapkan bisa kembali normal dalam waktu dekat.

Menanggapi kisruh beras yang memicu kelangkaan dan harga tinggi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti mengakui merasakan juga dampak kenaikan harga beras yang cukup tinggi padahal itu kebutuhan yang vital bagi masyarakat. Menurut Armayanti lonjakan harga beras itu terjadi karena, ada persoalan pergeseran masa tanam ditingkat petani akibat krisis iklim.

Sehingga selain hasil panen yang berkurang dan harga gabah melambung tinggi. Dampak krisis iklim saat ini membuat petani juga kesulitan memprediksi masa tanam. Kemarau yang panjang dengan musim hujan yang pendek, membuat petani belum berani memulai masa tanam, musim tanam dipredisi baru Maret, itu pun dalam persiapan lahan .

Dari pandangan Solidaritas Perempuan memang yang sejak 1990, ancaman krisis pangan menjadi konsen mereka. Memang krisis iklim menjadi hambatan ketahanan pangan. Tetapi tidak hanya persoalan krisis iklim, masalah ketahanan pangan juga terkait pembangunan yang hanya berorientasi pada industri telah mengabaikan ketahanan petani lokal itu sendiri.

"Misal pembangunan untuk infrastruktur, seperti jalan tol yang menggusur lahan pertanian, telah memutus peran petani lokal. Akibatnya dia (petani-red) tidak punya kuasa untuk menanam atau merawat kedaulatan pangan itu sendiri. Termasuk persoalan kegagalan food estate, di kalimantan, contoh paradigma pembangunan pemerintah yang hanya berorientasi pada industri," tandasnya