PDIP Terpaksa Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran, demi Harga Diri?
JAKARTA - Pasangan capres dan cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan melakukan rekonsiliasi jika KPU RI sudah mengumumkan kemenangannya pada Pilpres 2024. Prabowo menyatakan, akan mengajak kubu lawan agar bergabung ke pemerintahan untuk bersama-sama membangun Indonesia.
Di satu sisi, PKS yang merupakan parpol pengusung Paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menyarankan agar partainya tetap berada di luar pemerintahan untuk membangun oposisi sehat. Lalu, bagaimana dengan kubu Paslon 03 khususnya PDIP sebagai pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD?
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad menjelaskan, sebetulnya istilah partai oposisi tidak dikenal dalam sistem presidensial, lebih tepatnya yakni parpol di luar koalisi pemerintahan. Partai oposisi, kata dia, populer dalam sistem parlementer, di mana pemerintahan dibentuk berdasarkan kekuatan koalisi parpol di parlemen.
Andriadi mengatakan, setelah pilpres 2004 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) memenangkan kontestasi, hanya ada satu parpol yang di luar pemerintahan yaitu PDIP. Selebihnya seperti Golkar, PPP, PAN, PKB yang sebelumnya berbeda koalisi bergabung dengan koalisi pemerintahan.
Begitu juga pasca Pilpres 2009 yang dimenangkan SBY-Boediono, hanya ada tiga parpol di luar pemerintahan yaitu PDIP, Gerindra dan Hanura. Sedangkan parpol di luar pemerintahan setelah pilpres 2014 yang dimenangkan Joko Widodo (Jokowi)-JK dan Pilpres 2019 diungguli Jokowi - Ma'ruf adalah Partai Demokrat dan PKS.
Baca juga:
Dalam konteks Pilpres 2024, Andriadi menduga bahwa parpol yang akan berada di luar pemerintahan hanyalah PDIP. Sementara lainnya, kemungkinan akan merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Secara historis, ada kedekatan antara PKS, PKB, NasDem dan PPP dengan Prabowo Subianto. Keempat parpol tersebut akan besar kemungkinan bergabung dengan pemerintahan bersama Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat," ujar Andriadi saat dihubungi VOI, Sabtu, 17 Februari.
Menurut direktur eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC itu, perlu ada parpol di luar pemerintahan sebagai penyeimbang. Di lain sisi, semangat rekonsiliasi juga perlu dipertahankan untuk membangun bangsa Indonesia ke depan.
Namun, kata dia, perlu dipastikan bahwa seluruh parpol yang bergabung dengan pemerintahan juga jangan menghilangkan daya kritisnya.
"Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, itu perlu dikritisi," katanya.
Lantas, jika semua parpol ada di pihak pemerintah, siapa yang akan jadi oposisi?
Andriadi menilai, PDIP tetap akan bersikeras berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal itu dilakukan untuk menjaga harga diri partai. Apalagi, belakangan hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi yang mendukung Paslon 02 diisukan sedang tidak baik-baik saja.
"Untuk kekuatan di parlemen, walaupun pemenang pemilu dan terbanyak kursi di parlemen, tetap saja PDIP tidak mendominasi. Tapi saya ragu juga sebetulnya PDIP akan berada di oposisi, kecuali pecah kongsi dengan Jokowi ini tidak bisa di rujuk kembali. Artinya PDIP terpaksa jadi oposisi untuk menjaga harga diri," kata Andriadi.
"Kesendirian PDIP sebagai oposisi nanti akan menjadi menarik dalam dinamika politik Indonesia ke depan," sambungnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Budiman Sudjatmiko mengatakan Paslon 02 adalah pilihan rekonsiliasi dan persatuan nasional.
"Bagi kami, pilihan terhadap Pak Prabowo-Mas Gibran adalah pilihan rekonsiliasi dan persatuan nasional untuk kemajuan," kata Budiman dalam keterangannya, Senin, 11 Februari.