Hasil Pemilu 2024: Ketidakpastian Baru bagi Demokrasi Indonesia yang Masih Baru
JAKARTA – Keunggulan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu 2024 14 Februari lalu, memang belum sah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun sepertinya Capres yang mengusung nomor urut 2 ini bakal terus melaju, apapun yang terjadi.
Yang jelas, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara mampu menyelesaikan Pemilu terbesar di dunia yang digelar dalam sehari dengan sukses. Meskipun masih ditingkahi banyak kekhawatiran, pemungutan suara berjalan lancar di lebih dari 800 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 38 provinsi.
Penghitungan suara cepat menunjukkan, pasangan Prabowo-Gibran unggul nyaris 60 persen suara dibandingkan pesaingnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Meskipun begitu, keputusan resmi hasil Pemilu baru akan diumumkan KPU pada 20 Maret mendatang setelah divalidasi.
“Meskipun kita unggul, kita tidak boleh sombong. Kita harus tetap rendah hati,” kata Prabowo dalam pidato di hadapan pendukungnya, di Istora Senayan Jakarta, Rabu malam 14 Februari.
Tidak Mengejutkan
Keunggulan telak ini sebenarnya tidak mengejutkan, meskipun banyak prediksi pra-Pemilu yang menyebutkan kontestasi bakal berlangsung dua putaran. Kalaupun pada keputusan final KPU ditetapkan Prabowo sebagai Presiden RI ke-8, tetap ada kekhawatiran soal masa depan demokrasi Indonesia.
Beberapa pengamat politik dari luar negeri mengutarakan soal ketidakpastian arah demokrasi Indonesia, yang sebenarnya masih baru. Seperti yang diungkapkan Ian Wilson, dosen senior Murdoch University, Perth, Australia yang mencermati politik Indonesia.
“Secara prosedur, selama ini penyelenggaraan Pemilu di Indonesia selalu sangat baik dan kepercayaan publik selalu tinggi. Namun saat ini banyak orang curiga, dari semua sisi. Saya tidak peduli siapapun yang menang, namun jelas ada suasana yang kurang kondusif bagi demokrasi secara keseluruhan,” kata Wilson, dikutip Time, 14 Februari.
“Pastinya, ke depan bakal ada pandangan negatif dari masyarakat soal Pemilu yang tidak sah, atau lainnya,” kata Wilson menambahkan.
Di sisi lain, Wilson juga melihat bahwa sosok Prabowo sebagai seorang mantan tentara menjadi salah satu faktor penentu keunggulannya.
“Gagasan tentang kepemimpinan yang kuat dan agresif, bagi sebagian orang lain seringkali dipandang sebagai yang terbaik untuk Indonesia. Itu diperlukan untuk mengendalikan aspek kehidupan sosial politik Indonesia, yang dikenal tidak disiplin dan sulit diatur. Ujungnya, negara ini akan maju,” kata Wilson lagi.
Selain keinginan kemunculan pemimpin yang dianggap kuat, sebagian lagi faktor yang membuat keunggulan Prabowo adalah rebranding. Tranformasi Prabowo sebagai “gemoy” ternyata memang bagi sebagian pemilih muda dalam Pemilu 2024.
Rebranding tersebut berhasil mengubah sosok masa lalu Prabowo yang dikenal angker, sehingga menjadi tidak ada. Generasi muda seakan ingin melupakan masa lalunya. Ditambah lagi janji kampanye untuk pembenahan ekonomi, mengatasi pengangguran, dan rencana distribusi makan siang gratis ke seluruh sekolah di Indonesia dengan anggaran mencapai Rp460 triliun.
Semua itu mengalahkan kampanye yang dilancarkan para aktvis, soal kekhawatiran masa depan demokrasi di Indonesia jika dipimpin Prabowo. Kekhawatiran terhadap kebebasan masyarakat sipil, kemunduran demokrasi yang sudah terjadi di era akhir kepemimpinan Jokowi, jargon Neo Orba, semua seakan hanya jadi angin lalu.
Tak Ada Kawan dan Musuh Abadi
Transformasi Prabowo dari antitesis Jokowi menjadi Jokower sejati, juga sangat berpengaruh terhadap keunggulannya di Pilpres 2024. Janji untuk meneruskan proyek-proyek unggulan Jokowi, mulai soal nikel hinggga IKN Nusantara, juga sangat membantu posisi Prabowo sebagai kandidat presiden.
Jokowi pun mendukungnya, meskipun tidak secara terang-terangan disebutkan. Tapi itu jelas tergambar dalam berbagai aktivitas Jokowi, dan fotonya yang terpampang dalam setiap poster dan baliho Prabowo-Gibran.
Bagi Indonesia, tidak pernah ada seorang presiden yang aktif berkampanye untuk kandidat penggantinya. Namun Jokowi mendobrak semua tabu tersebut, dengan melakukannya meskipun malu-malu kucing.
Kemitraan Jokowi dan Prabowo dapat terjadi, karena Sang Petahana tidak punya cukup dukungan politik dan dana yang kuat untuk melanggengkan kekuasaan.
Menilik cara yang dilakukan Jokowi, dosen senior tata kelola publik dari Universitas Indonesia, Visnhu Jowono berpendapat lain.
“Pembuatan kesepakatan, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Itulah yang menjadi ciri politik Indonesia,” kata Visnhu.
Terakhir, muncul kekhawatiran dari banyak pengamat bahwa jika sudah sah menjadi Presiden RI, Prabowo akan mengingkari kesepakatan dengan Jokowi.
“Risiko tersebut memang ada. Namun berdasarkan pengamatan saya, Jokowi selalu cerdik untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi sepanjang kariernya,” ujar Wilson lagi.
Keunggulan Prabowo jelas harus diterima dengan lapang dada oleh seluruh warga negara Indonesia. Perkara di tengah perjalanan ada apa-apa, itu soal nanti. Ini Indonesia Bung!