Saat Suara Golkar Gembos pada Pemilu 1992
JAKARTA – Pemilu 1992 bakal selalu dikenang sebagai momen kemerosotan suara Golkar, sebagai kekuatan utama politik di Indonesia. Golkar yang selalu menang telak sejak Pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971, merosot 5,06 persen.
Pemilu 1992 digelar serentak pada 9 Juni. Format pelaksanaan masih sama dengan empat Pemilu era Orde Baru yang sudah-sudah, 1971-1987. Tiga kontestan Pemilu 1992 terdiri dua partai politik, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta Golongan Karya (Golkar). Pemilu ditujukan untuk memilih anggota legislatif, bukan presiden.
Digelar di 27 provinsi di Indonesia dan luar negeri, Pemilu 1992 memunculkan hasil yang mengejutkan. Tidak lain karena perolehan suara Golkar yang merosot tersebut. Jika pada Pemilu 1987 Golkar meraup 73,11 persen suara, atau 62.785.680 dari total 85.869.816, pada 1992 mereka nyungsep.
Tahun 1992 Golkar mendapatkan 66.599.331 suara dari total 97.789.534, atau 68,10 persen. Di sisi lain, peroleh kontestan pesaing Golkar justru melonjak. PPP yang pada 1987 mendapatkan 15,96 persen suara, melonjak jadi 17 persen atau 16.624.647 pemilih.
Lonjakan terbesar diperoleh PDI, dengan perolehan 14,89 persen atau dicoblos oleh 14.565.556 pemilih. Hasil ini meningkat jauh, dibandingkan Pemilu 1987 yang mendapatkan 10,93 persen suara. Fakta ini menjadi fenomena menarik, yang lantas banyak diartikan sebagai awal kehancuran rezim Orde Baru.
Dari hasil Pemilu 1992 tersebut, Golkar kehilangan 17 kursi di DPR, PPP bertambah 1 kursi, sedangkan PDI berpesta dengan tambahan 16 kursi.
Prediksi Keruntuhan Orde Baru
Salah satu sosok yang memprediksi bahwa kekuasaan Orde Baru bakal runtuh berdasarkan hasil Pemilu 1992 adalah Gus Dur.
“Suksesi Suharto akan terjadi pada 1998,” kata Gus Dur pada 1992, seperti dikutip NU Online.
Menurut tokoh politik senior, Harry Tjan Silalahi, kegagalan Golkar mendongkrak perolehan suara karena permasalahan internal. Seusai kemenangan gemilang pada Pemilu 1987, Golkar agak lalai mengurus beberapa aktivis potensial mereka. Pada aktivis itu lantas mbalelo, dan kondisi tersebut dimanfaatkan oleh PDI dan PPP.
“Golkar tampaknya juga belum mempunyai kiat untuk menarik golongan menengah dan pemilih pemula, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 17 juta,” kata Harry Tjan, yang diungkapkan dalam buku Bunga Rampai Pemilihan Umum 1992: Suatu Evaluasi.
Kenduri Besar PDI
Di saat raihan suara Golkar jeblok dan Suharto dikabarkan marah bukan main, PDI sebagai partai yang dianggap gurem justru berpesta. Jika pada Pemilu 1987 PDI hanya mampu meraih 40 kursi di DPR dari total 400, maka di 1992 mereka mendapatkan 56 kursi. Hanya terpaut 6 kursi di bawah PPP yang mendapatkan 62. Meskipun perolehan Golkar merosot, mereka masih merajai dengan 282 kursi.
Meskipun tambahan 16 kursi PDI dan 1 kursi PPP itu belum berarti banyak bagi konstelasi politik Indonesia karena Golkar masih menang mutlak, tak urung itu merupakan tamparan bagi penguasa. Pergeseran suara di perkotaan dan pedesaan menjadi menarik, sebab gejala floating mass, atau massa mengambang semakin jelas.
Analis politik yang kini sudah almarhum, Riswandha Imawan, dalam laporan Majalah Tempo saat itu mengatakan bahwa pergeseran itu terjadi karena orang-orang desa mulai sadar akan hak politik. Angka melek huruf yang mulai meningkat turut berpengaruh terhadap perpolitikan di Indonesia.
Riswandha menyebutkan, pola hubungan patronclient seperti kiai dengan santri semakin memudar. Orang mulai sadar bahwa masalah politik adalah urusan duniawi.
“Orang desa mulai sulit untuk dimobilisasi untuk mendukung OPP, Organisasi Peserta Pemilu,” kata Riswandha.
Geliat Kelas Menengah
Geliat kelas menengah baru di perkotaan sebagai buah kemajuan pembangunan ekonomi, juga diyakini menjadi penyebab kemerosotan perolehan suara Golkar. Golongan menengah baru ini memiliki ciri mandiri dalam menentukan pilihan politik.
“Ketika melihat kebijakan pemerintah kurang adil, terutama untuk mereka sendiri, mereka mengalihkan pilihan ke partai lain,” kata pengamat politik, Amir Santosa, dikutip Tempo pada 18 Juli 1992.
Menurut Amir, kelas menengah baru pada saat itu jumlahnya hanya sekitar satu juta orang, namun itu cukup untuk menjadi kelompok penekan. Mereka mampu mengubah konstelasi politik di daerah luar Jakarta, karena posisi yang lebih mandiri.
Pada Pemilu 1992 perolehan suara Golkar di Jakarta meningkat, namun merosot di daerah-daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya. Netralitas ABRI menurut Amir juga ikut berpengaruh terhadap geliatan-geliatan politik saat itu.
“Parpol mulai lebih berani dalam berkampanye. Berani protes soal kejujuran proses pemungutan suara, protes soal kejujuran proses penghitungan suara,” kata Amir menambahkan.
Namun pendapat agak berbeda disampaikan pengamat politik Indonesia asal Amerika Serikat, Ben Anderson. Profesor ilmu politik dari Universitas Cornell ini berpandangan bahwa Pemilu 1992 masih terlalu banyak disetir pemerintah.
Baca juga:
“Ini berbeda dengan konsisi Pemilu 1955. Saat itu pemerintah belum punya banyak uang untuk mengatur ini-itu, sehingga harus puas dengan kondisi apa adanya,” kata Anderson.
Pemilu 1992 dimulai pada 10 Mei, berupa awal masa kampanye yang berdurasi 23 hari. Setelah itu diberlakukan minggu tenang, sebelum akhirnya memasuki tahapan pencoblosan pada 9 Juni. Ada 105.565.697 pemilih terdaftar, namun yang menuntaskan haknya di bilik suara berjumlah 97.789.534.