Berkaca pada Razia Produk Skincare, Pendisiplinan di Sekolah Seringkali Tidak Substansial

JAKARTA – Video ketua OSIS dan beberapa anggotanya merazia make-up dan skincare di sekolah viral di media sosial. Tak sekadar melakukan razia, ketua OSIS tersebut juga merusak make-up dan produk perawatan kulit, termasuk sunscreen.

Video tersebut diunggah di akun TikTok @nadtawang dan langsung menjadi perhatian publik. Dalam video unggahannya terlihat beberapa anggota OSIS yang membuang sunscreen, ada pula oknum yang mengikis bedak padat menggunakan gunting hingga hancur.

Aksi ini menuai kecaman dari banyak pihak. Tindakan razia yang dilakukan sekolah itu disebut mendorong siswa untuk bersikap mubazir karena membuang sesuatu yang masih bisa digunakan.

Di sisi lain, aksi ini juga mengundang keprihatinan dari kalangan pendidik. Merazia hingga merusak barang pribadi milik siswa mencerminkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam pendisiplinan yang tidak substansial.

Tidak Berkaitan dengan Akademik

Razia hadir dalam dunia pendidikan dengan tujuan memberikan efek disiplin dan jera terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran. Razia di sekolah sebenarnya sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Makanya, kata razia kini bukan menjadi suatu yang asing, terutama bagi peseta didik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) razia adalah penangkapan beramai-ramai, penggerebekan penjahat yang berbahaya bagi keamanan dan pemeriksaan serentak.

Tapi mengapa istilah razia muncul di dunia pendidikan? Apa poin penting razia dan seberapa penting razia dilakukan?

Razia di sekolah biasanya dilakukan secara mendadak, sehingga peserta didik tidak memiliki persiapan untuk menyembunyikan sementara barang yang dirazia.

Di zaman dulu, biasa razia dilakukan dengan menyita parfum, rokok, minuman keras, dan alat kejahatan lainnya. Seiring berkembangnya zaman, razia dalam dunia pendidikan berkembang menjadi razia ponsel hingga produk kecantikan.

Viral aksi menghancurkan bedak hingga sunscreen. (Tangkapan Layar TikTok/@nadtawang)

Seperti yang terjadi baru-baru ini yang viral di media sosial. Razia tersebut menuai pro dan kontra. Bagi mereka yang mendukung, menganggap sekolah adalah tempat belajar yang tidak memerlukan produk skincare, sehingga melakukan razia produk tersebut adalah sebuah kewajaran.

Tapi tidak sedikit pula yang menyesalkan kejadian tersebut, karena dinilai mubazir. Lagi pula, produk skincare adalah milik pribadi yang apa pun alasannya tidak selayaknya dirusak begitu saja.

Kejadian ini juga disayangkan oleh Feriansyah selaku Kabid Litbang Pendidikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Menurut Feriansyah, mayoritas sekolah di Indonesia masih terjebak dalam pendisiplinan yang sifatnya tidak substansial. Ia menegaskan melakukan pengrusakan terhadap produk skincare dan make-up tidak memiliki urgensi yang berkaitan dengan akademik peserta didik. Feriansyah juga menganggap pendisiplinan di kebanyakan sekolah di Indonesia cenderung paramiliter.

“Jadi sekolah kita ini cenderung seperti paramiliter, yang semuanya harus sama, harus seragam. Apa latar belakang mereka melakukan hal itu? Jangan sampai aturan sekolah melanggar hal yang privat, yang sebenarnya dilindungi,” kata Feriansyah saat berbincang dengan VOI.

“Memang sekolah publik, sehingga semua harus diatur. Tapi, apa urgensinya melakukan pengrusakan barang pribadi? Kan tidak semuanya harus dilakukan dengan penghancuran, apalagi ada dampak ekonomi di sana karena siswa jadinya harus beli lagi kan?” imbuhnya.

Hak Siswa Sering Diabaikan

Pola pendisplinan di sekolah dengan cara kekerasan atau razia memang kerap terjadi di dunia pendidikan. Untuk kasus yang baru-baru ini terjadi, Feriansyah menilai sekolah seharusnya memberikan aturan yang jelas perihal penggunakan produk kecantikan dan skincare yang boleh digunakan peserta didik. Apalagi, dalam video yang diunggah peserta didik sudah berusia remaja, yang terkadang secara psikologis memang butuh produk tersebut.

“Untuk penggunaan make-up harus jelas, kalau terlalu menor yang memang tidak boleh. Untuk sunscreen kan itu penting, memang dibutuhkan,” jelasnya.

Lebih lanjut Feriansyah menilai pola pendisplinan yang cenderung dilakukan dengan kekerasan atau pengrusakan terjadi karena dalam dunia pendidikan di Indonesia peserta didik seringkali diabaikan hak-haknya. Dikatakan Feriansyah selama ini siswa di sekolah lebih sering dituntut mengenai kewajiban, namun tidak didahulukan untuk memenuhi haknya.

Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono didampingi Wali Kota Jakarta Timur Muhammad Anwar saat mengunjungi SMP Negeri 193, Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur, Jumat. (Antara/HO-PPID DKI Jakarta)

Feriansyah berujar, ketika anak memahami hak diri sendiri dan orang lain, maka mereka akan dengan sendirinya mengetahui kewajiban sebagai pelajar.

“Pola pendisiplinan seperti itu memang sering terjadi di sekolah, termasuk hukuman fisik. Padahal aturan sekolah seharusnya juga tidak membatasi hak-hak dasar kita sebagai manusia. Ranah publik dan ranah privat harusnya dipisah,” kata Feriansyah lagi.

“Batasan terhadap hak asasi seorang anak kurang diperhatikan di sini. Di kita ini tidak pernah diajarkan hak-hak anak apa saja,” ia mengimbuhkan.

Feriansyah berharap ke depannya, pola pendisplinan peserta didik di sekolah tidak lagi menggunakan kekerasan maupun pengrusakan barang pribadi. Ia berharap proses pendisiplinan bersifat humanis serta tidak ada hegemoni antara penguasa, dalam hal ini ketua OSIS, dan para siswa.

“Bentuk hukuman tidak selamanya efektif untuk memberi efek jera. Perlu ada pendekatan yang humanis serta membangun kesadaran tentang situasi,” kata Feriansyah menandaskan.