Peritel Diimbau Mulai Ekstensifikasi Usaha, Ini Penyebabnya
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta peritel untuk melakukan ekstensifikasi bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi 2024 ini.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey mengimbau pelaku usaha ritel untuk mulai mengekstensifikasi bisnisnya di luar sektor ritel. Adapun, ekstensifikasi bisnis diperlukan sebagai antisipasi dari risiko yang tidak dapat diprediksi.
"Di 2024 ini, istilahnya kami harus prediksi yang tidak bisa diprediksi. Kami optimis, tapi kami harus punya pola pikir bisa memprediksi yang tidak bisa kami prediksi. Jadi, pesan kami kepada anggota peritel ekstensifikasi bisnis, lah," ujar Roy di Jakarta, dikutip pada Jumat, 19 Januari.
Roy mengatakan, meskipun pihaknya masih optimistis dengan proyeksi pertumbuhan ritel di tahun pemilu ini berkisar 3,7-3,8 persen secara tahunan atau year on year (you). Namun, dia menilai risiko gejolak ekonomi masih tetap menghantui ritel.
Sebab, ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan konflik di Laut Merah telah mengancam gejolak harga minyak dunia. Kondisi tersebut berisiko pada pasokan dan harga barang-barang sehingga mampu menekan daya beli masyarakat.
"Ekstensifikasi itu mengambil langkah-langkah kontingensi ketika unpredictable terjadi. Jadi, pesan kami kepada anggota peritel ekstensifikasi bisnis lah, jangan intensifikasi saja, perluasan usaha jangan hanya ritel," kata dia.
Selain itu, Roy juga mengimbau untuk ritel yang mengalami stagnasi agar mulai melakukan strategi efisiensi. Misalnya dengan memperkecil skala gerai menjadi lebih efisien.
"Yang ritel sudah bagus dijaga, yang ritelnya belum bagus, ya, kecilkan size-nya, jangan 5.000 meter (persegi) lagi. Itu bikin jadi 2.000-3.000 meter saja," tuturnya.
Baca juga:
Adapun Roy menyebut sejumlah faktor perlu dijaga untuk mempertahankan kinerja ritel pada 2024 agar sesuai proyeksi.
Pertama, pemerintah perlu menjaga kondusifitas politik selama pesta demokrasi. Kebijakan populis, fiskal dan moneter perlu dijaga sebaik mungkin untuk mendukung situasi kondusif.
Namun, Roy menilai kebijakan suku bunga bank Indonesia di level 6 persen juga dianggap berisiko pada kenaikan bunga kredit bank hingga menekan konsumsi di masyarakat.
Selain itu, pemerintah juga dianggap perlu menjaga pasokan dan harga pangan. Sebab, dua faktor itu akan berpengaruh langsung pada tingkat inflasi dan daya beli masyarakat.