Mengenal Keyboard Warrior dan Kaitannya dengan Cyberbullying
JAKARTA – Istilah keyboard warrior mungkin belum terlalu populer sekarang ini. Padahal, aksi keyboard warrior dapat berujung pada terjadinya cyberbullying atau perundungan di dunia maya.
Istilah keyboard warrior pernah juga digunakan mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam cuitannya di media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter.
“Terima kasih kepada semua keyboard warrior saya yang hebat. Kalian lebih baik, dan jauh lebih brilian, dibandingkan siapa pun di Madison Avenue (agen iklan). Tidak ada yang seperti kalian,” tulis Donald Trump di akun Twitternya pada 14 Mei 2020 lalu.
Namun banyak yang menyebut cuitan Trump sebagai pengalahgunaan istilah. Trump menggunakan keyboard warrior sebagai sebuah pujian, padahal istilah tersebut memiliki arti yang negatif.
Merujuk pada Urban Dictionary, keyboard warrior adalah istilah yang diberikan kepada orang-orang yang melampiaskan emosinya melalui perantara teks di internet, bisa media sosial atau game online.
Singkatnya, keyboard warrior adalah orang yang senang melontarkan kalimat kasar, marah-marah, komentar dengan nada kebencian di media sosial.
Jago Kandang
Menurut Richard Graham, seorang pengacara di Australia, keyboard warrior adalah individu yang secara agresif mengungkapkan pendapatnya secara online namun menghindari konfrontasi tatap muka.
Seseorang menjadi keyboard warrior lantaran tidak bisa mengekspresikan emosinya secara langsung di dunia nyata. Ada berbagai faktor yang menyebabkan pelampiasan emosi tidak bisa dilakukan di dunia nyata.
Hal yang paling umum adalah karena adanya perasaan kurang berani dan kurang aman. Sementara di dunia maya, seorang keyboard warrior ini bisa dengan leluasa melampiaskan amarah di balik akun anonim tanpa berdampak apa-apa di kehidupan nyata.
Para keyboard warrior ini merasa lebih berani menghujat dari balik gawai mereka dibanding mengutarakan langsung di depan orang yang tidak disukai atau disebut juga “jago kandang”.
Meski di satu sisi aksi keyboard warrior dianggap tidak memiliki dampak baginya, tapi ketikan mereka justru bisa memengaruhi orang lain. Karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, keyboard warrior lebih senang mengeluarkan komentar pedas, hujatan, maupun kebencian kepada seseorang. Dalam hal ini, public figure biasanya menjadi sasaran empuk para keyboard warrior, meski tidak jarang orang biasa juga diserang.
Kata-kata yang dilontarkan keyboard warrior ini juga dapat digolongkan sebagai tindakan cyberbullying. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, cyberbullying paling banyak terjadi di media sosial dan jumlahnya mencapai 71 persen.
Menurut UNICEF, cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Kasus cyberbullying di Indonesia sendiri cukup tinggi.
Baca juga:
- Media Sosial Menjadi Medan bagi Impulsivitas
- Pantauan Netray terhadap Reaksi Warganet TikTok Usai Debat Capres Ketiga: Prabowo Paling Banyak Disebut
- Kenali Kanker Terminal, Penyakit yang Diklaim Mustahil Disembuhkan Seperti yang Diidap Sven-Goran Eriksson
- Disebut Mirip Cerdas Cermat, Apakah Debat Capres - Cawapres Perlu Diubah?
“Sosial media merupakan platform digital yang paling banyak terjadinya cyberbullying,” kata Dosen Prodi Digital Neuropsikologi Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), Dini Marlina dalam webinar yang bertema Cyber Bullying: Perspektif Hukum dan Neuropsikologi pada Juli 2023.
Cyberbullying juga terjadi di aplikasi chatting sebanyak 19 persen, game online 5 persen, dan YouTuve 1 persen. Cyberbullying marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya pengguna media sosial. Menurut hasil penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI), terdapat 49 persen dari 5.900 responden yang menjadi korban cyberbullying. Tingginya angka ini dipicu oleh meningkatnya konsumsi internet pada anak dan kurangnya pengawasan dari orang tua.
Berdampak pada Kesehatan Mental
Aksi keyboard warrior seringkali tidak mempertimbangkan akibat yang ditimbulkannya. Padahal perilaku ini bisa berdampak serius pada kesehatan mental individu yang menjadi sasaran. Perasaan marah, stres, cemas, depresi, kepercayaan diri rendah, bahkan cenderung menghindari interaksi sosial dapat terjadi pada mereka yang menjadi target keyboard warrior.
“Keyboard warrior seringkali menggunakan kata-kata yang merendahkan dan memicu perasaan tidak berdaya pada korban,” dikutip dari laman Universitas Esa Unggul terkait Bahaya Perilaku Abusive Keyboard Warrior terhadap Kesehatan Mental.
“Terus-menerus diserang secara online dapat merusak kepercayaan diri seseorang dan menghasilkan perasaan rendah diri. Rendahnya harga diri ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan pribadi, karier, dan kesejahteraan umum,” lanjutnya.
Perlu diketahui, aksi keyboard warrior tidak hanya berdampak negatif kepada mereka yang menjadi sasaran, tapi si pelaku itu sendiri. Para keyboard warrior cenderung agresif terhadap kekerasan, mudah marah, dan impulsif.
Para keyboard warrior juga memiliki toleransi rendah, rasa empati yang kurang, merasa memiliki kekuasaan terhadap keadaan, dan cenderung tidak dapat mengembangkan hubungan sosial yang sehat.
Mereka para keyboard warrior kurang memiliki rasa bersalah karena para pelaku mayoritas anonim dan dapat menutupi identitas diri, seperti yang dikatakan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.
“Medsos memungkinkan orang hadir secara anonim. Karena anonim, orang merasa perilakunya tak berisiko,” kata Reza kepada VOI.
Menurut penelitian, para keyboard warrior hanya butuh atensi dan pengakuan dari target yang diserangnya di dunia maya. Karena itu, mengabaikan komentar buruk keyboard warrior bisa menjadi salah satu cara agar tidak terpancing emosi yang justru bisa menimbulkan perdebatan panjang di media sosial. Tapi, ketika ulah keyboard warrior dianggap sudah sangat menganggu, apalagi sampai mengancam misalnya, tidak ada salahnya me-report dan block akun mereka.