Pengamat: Peluang Ganjar Diusung PDIP di Pilpres 2024 Gantikan Jokowi Masih 50-50

JAKARTA - Rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) memaparkan hasil survei pilihan calon presiden di Pilpres 2024 dan ternyata sebagian pemilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpindah ke Ganjar Pranowo.

Berdasarkan survei yang digelar pada 25-31 Januari lalu dengan responden sebanyak 1.200 orang ini, LSI mendapati banyaknya peralihan dukungan dari Presiden Jokowi ke Ganjar Pranowo. Dalam survei tersebut, masyarakat banyak memilih Jokowi dalam Pilpres mendatang hingga 18 persen.

Sementara pilihan kedua adalah Prabowo Subianto dengan 5,7 persen. Ketiga, Anies Baswedan dengan 5,7 persen. Keempat, Ganjar Pranowo dengan perolehan 3,5 persen.

Namun, jika nama Jokowi dikeluarkan karena tak lagi bisa mengikuti Pilpres 2024, Prabowo Subianto berada urutan atas dengan perolehan pemilih 22,5 persen. Uniknya, nama Ganjar menyalip dengan urutan kedua sebesar 10,6 persen dan Anies 10,2 persen.

Melihat kondisi ini, Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyebut pemilih Jokowi dalam Pilpres 2024 memang menyebar ke sejumlah tokoh. Tapi, poros pemilih paling besar akan bergeser ke Ganjar.

"Kalau nama Pak Jokowi tidak dimasukan ke dalam simulasi maka suara Pak Jokowi itu menjadi menyebar, paling banyak itu ke Pak Ganjar. 22 persen pemilih Pak Jokowi di tahun 2019 itu ke Pak Ganjar," katanya dalam pemaparan survei virtual, Senin, 22 Februari.

Djayadi mengungkap alasan banyak pemilih Jokowi yang lari ke Ganjar karena penyebabnya Gubernur Jateng tersebut adalah kader PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi sejak Pilpres 2014.

"Jadi kita bisa mengatakan peningkatan suara pak Ganjar itu antara lain karena ditopang oleh berpindahnya suaranya Pak Jokowi ke kader PDIP yang lain, yaitu ke Pak Ganjar. Dengan catatan, ini menyebar ya, cuma paling besar ke Pak Ganjar," jelas dia.

Peluang Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin di Pilpres 2024 bisa dibilang masih belum diketahui karena masih banyak kemungkinan yang bakal terjadi. 

"Peluang Ganjar di 2024 masih 50-50. Bisa nyapres dan bisa juga tidak. Semua masih banyak kemungkinan," ungkapnya saat dihubungi VOI, Selasa, 23 Februari.

Pernyataan senada juga dilemparkan oleh Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Kata dia, Ganjar mungkin memiliki elektabilitas paling tinggi saat ini dari sejumlah kader PDIP seperti Ketua DPR RI Puan Maharani. "Hanya saja, keterusungan Ganjar di PDIP belum terlihat potensi dominannya," ungkapnya.

Apalagi, kata Dedi, Ganjar yang merupakan anggota DPR RI pernah terseret dalam pusaran kasus megakorupsi e-KTP yang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyeret sejumlah nama termasuk mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

"Dia pernah disebut dalam pusaran kasus e-KTP tentu itu akan mengemuka kembali saat masa kontestasi tiba," ujarnya.

>

Gubernur Jawa Tengah yang juga mantan anggota Komisi II DPR RI itu memang pernah beberapa kali diperiksa oleh KPK terkait kasus korupsi e-KTP. Dia beberapa kali diperiksa sebagai saksi sejak penyidikan mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Narogong, hingga mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

Ganjar juga beberapa kali bersaksi di dalam persidangan mereka. Bahkan, Novanto sempat menyebutnya telah menerima uang sebesar 500 ribu dolar Amerika Serikat dari proyek yang jadi bancakan itu.

Namun, kader PDIP itu membantah berkali-kali di dalam sidang maupun di luar. Ganjar mengatakan tak pernah menerima uang apapun dari proyek yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.

Kembali ke hasil survei LSI, bagaimana peluang Ganjar di Pilpres 2024? Menjawab hal ini, Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat menyebut pihaknya tidak menutup peluang bagi Ganjar menjadi calon presiden Pilpres 2024. 

Namun, menurut Djarot, masih banyak kader partai lain yang bisa diusung PDIP. "Artinya, 2024 masih terbuka bagi siapa pun juga. Ada yang mengatakan apakah Pak Ganjar, pasti tertutup peluangnya? Belum tentu juga. Masih banyak calon. Biasanya, untuk penentuan capres itu tidak bisa dilakukan di awal-awal seperti ini," ujar Djarot.