Budayawan Kritisi Prabowo-Gibran: Di Luar Sana Sudah Bicara Peradaban, di Sini Program Makan Gratis Rp450 Triliun

JAKARTA- Diskusi Kebudayaan berjudul "Indonesia di Persimpangan Sejarah" menghadirkan berbagai pemikiran kritis mengenai keadaan sejarah dan kultur saat ini.

Acara yang berlangsung di Warung Presiden (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, pada Rabu 27 Desember, membahas permasalahan yang tengah dihadapi Indonesia.

Diskusi yang dihadiri oleh penyair Isti Nugroho, Budayawan Dr. Zastrouw Al Ngatawi, dan dimoderatori oleh penyair Amin Kamil, menyoroti kurangnya pemahaman sejarah di kalangan generasi muda.

Isti Nugroho menyampaikan pandangannya bahwa Indonesia kini bukan hanya berada di persimpangan sejarah, melainkan telah tenggelam dalam lika-liku sejarah sejak masa sebelum dan setelah kemerdekaan hingga tahun 1965.

Menyoroti perubahan arah politik Indonesia, Nugroho mengingatkan bahwa pada tahun 1965, Indonesia berada di persimpangan, memilih arah ke Barat. Hal ini, menurutnya, menjadi momentum krusial yang mempengaruhi perkembangan bangsa. Narasi politik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh politik, terutama menjelang Pemilu 2024, dinilai Nugroho tidak memberikan gagasan yang kuat untuk kemajuan Indonesia.

Contoh nyata disampaikan Nugroho terkait janji Capres dan Cawapres Prabowo - Gibran yang berencana memberikan makan siang gratis dengan anggaran besar.

Ia mempertanyakan keberlanjutan dan dampak positif dari kebijakan tersebut, menilai bahwa ide tersebut tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan.

"Seperti janji pasangan Prabowo - Gibran yang akan memberikan makan siang gratis, dengan anggaran Rp 450 triliun. Lha untuk apa? Apa yang akan dihasilkan dengan makan siang berbiaya 450 triliun itu? Orang di luar sudah bicara gagasan untuk kemajuan peradaban dunia, di sini masih bicara untuk memberi makan! Lho soal memberi makan itu kan bukan gagasan yang luar biasa!,” papar Isti Nugroho.

Al Zastrouw Ngatawi menambahkan dimensi lain dengan mengamati ketidakminatan generasi muda terhadap sejarah. Menurutnya, kurangnya daya tarik terhadap sejarah diakibatkan oleh ketidakmampuan berkomunikasi dengan generasi muda.

Ia mengkritik pendekatan orangtua yang terlalu mengandalkan tembok-tembok pembatas untuk menghadang budaya liberal, seperti Syariat Islam, UU pornografi, dan lain-lain.

"Lebih baik kita meningkatkan imunisasi kultural bukan dengan melarang.  Tembok setinggi apapun akan jebol.  Daripada capek-capek bikin tembok, kenapa anak-anak tidak kita ajarin saja berenang, supaya lebih kreatif. Kalau dia bisa berenang kan bisa menyelamatkan diri," kata Al Zastrouw.

Lebih lanjut, Al Zastrouw mengusulkan pendekatan yang lebih positif dengan meningkatkan imunisasi kultural tanpa melarang. Ia menekankan pentingnya memberikan keterampilan kepada anak-anak, untuk memupuk kreativitas dan kemandirian. Al Zastrouw juga mempertanyakan relevansi sejarah dengan pendidikan saat ini, yang cenderung fokus pada aspek kognitif.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, Diskusi Kebudayaan ini mencoba membuka wacana tentang bagaimana cara mendidik generasi muda, merawat sejarah, dan membangun gagasan yang mampu mengarahkan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.