Narasi Populisme Wong Cilik, Antara Slogan dan Harapan

JAKARTA – “Kami telah terbiasa mendengarkan keluh kesah rakyat.” Itulah salah satu nukilan dari kalimat penutup Ganjar Pranowo saat debat calon presiden (capres) 2024 yang digelar di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) 12 Desember lalu.

Tentu tidak mengherankan bila capres nomor urut 3 itu melontarkan kalimat tersebut. Sebab, Ganjar dan salah satu partai politik pengusungnya, PDI Perjuangan secara berkesinambungan terus menggaungkan diri sebagai representasi wong cilik.

Penggunaan narasi populisme dalam upaya pencitraan merupakan hal yang lumrah dan sering digunakan dalam komunikasi politik. Populisme dinilai sebagai strategi yang mudah bagi para politisi agar dapat memengaruhi pemikiran dan persepsi pemilih. Termasuk Ganjar Pranowo secara konsisten menggunakan narasi populisme wong cilik untuk membangun citra sebagai pemimpin wong cilik sejak mengikuti pemilihan kepala daerah Jawa Tengah 2013 silam.

Saat menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah selama dua periode dan kini menjadi capres, Ganjar pun terus berupaya secara konsisten menampilkan citra sebagai representasi wong cilik. Tengok saja di akun media sosialnya, dimana dia kerap membagikan foto-foto kedekatannya dengan rakyat Jateng. Pun saat kampanye, dimana Ganjar kerap menginap di salah satu rumah masyarakat setempat.

Politisi senior PDI Perjuangan dari Jawa Tengah, Hendrawan Supratikno tak sungkan memuji Ganjar sebagai representasi wong cilik setelah Joko Widodo. Menurutnya, sebagai kader PDIP, Ganjar sangat memahami ajaran Bung Karno yang pernah menyebut jika rakyat marhaen adalah mereka yang tidak punya akumulasi kapital atau modal besar dalam menjalankan usahanya. Dalam era kekinian, PDIP menyebutnya sebagai wong cilik, orang-orang yang harus diperjuangkan nasibnya melalui pendekatan politik, kebijakan, maupun program yang eksplisit.

Caption

“Ganjar merupakan pribadi sederhana yang lahir dari rahim rakyat. Bersama Mahfud, mereka tentu lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat di akar rumput. Populisme yang dibawa oleh Ganjar-Mahfud sangat jelas berasal dari konsepsi politik yang mereka bawa dan atas pengalaman yang mereka lihat langsung di lapangan, bukan sebagai pendekatan elektoral semata,” ujarnya, Sabtu 16 Desember.

Hendrawan menegaskan, pemimpin dalam falsafah Jawa mempunyai sifat untuk selalu ngayomi, ngayemi, dan ngayani. Secara etimologi, ngayomi artinya memberi rasa aman, ngayemi adalah membuat rasa nyaman, serta ngayani berarti menguatkan.

“Ketiga sifat ini telah tercermin dalam rekam jejak Ganjar-Mahfud selama berkecimpung di dunia pemerintahan. Keduanya sama-sama orang yang peduli terhadap wong cilik, selalu mengutamakan kepentingan publik, serta patuh terhadap konstitusi dan undang-undang,” imbuhnya.

Narasi populisme wong cilik ala Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 juga diperkuat dengan salah satu program unggulan yang digagas PDI Perjuangan. Saat melakukan safari politik di Banten, Minggu 10 Desember lalu, Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa paslon Ganjar-Mahfud akan melanjutkan kerja kerakyatan Pemerintahan Joko Widodo melalui program KTP Satu Kartu Terpadu Indonesia (Sakti).

Hasto menyatakan, KTP Sakti merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan rakyat, terutama yang terkait kemudahan akses terhadap kebutuhan pokok. Sebab, KTP Sakti menjadi program yang menyempurnakan kebijakan era Presiden Jokowi demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.

“Apa yang dilakukan Ganjar di dalam melanjutkan, memperbaiki, mempercepat capaian dari presiden Jokowi untuk rakyat, jawabannya adalah KTP Sakti,” tuturnya.

“Maka, sampaikan ke rakyat, dalam upaya mempercepat gerak cepat Indonesia unggul, di dalam menyempurnakan terhadap yang dilakukan Pak Jokowi yang juga kepemimpinan sebelumnya berasal dari pendidikan kepartaian kita, dengan KTP Sakti ini. Dengan KTP Sakti, kita akan integrasikan, kita satukan komitmen terhadap wong cilik. Karena fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ini ada kartu sehat, kartu Indonesia pintar, ada PKH, ada program satu keluarga satu sarjana, ada raskin, semua nanti cukup dilanjutkan dengan kartu tanda penduduk Indonesia Raya pintar. Maka ini dinamakan KTP Sakti,” sambung Hasto.

Dia menegaskan, nantinya rakyat tidak perlu memiliki banyak kartu demi mendapat bantuan. Sebab, KTP Sakti bisa terwujud dengan penyatuan data. “Jadi, bagi rakyat miskin, tidak perlu banyak kartu, cukup menunjukkan KTP Sakti. Caranya bagaimana? Caranya dengan pertama satu data. Sehingga kita bangga sebagai warga Indonesia karena KTP ini mencerminkan komitmen paling fundamental terhadap pemerintahan untuk rakyat. Maka kartu sakti ini basisnya single ID. Ini akan menjadi NPWP, ini akan menjadi satu data setiap warga Indonesia, termasuk terkait dengan jaminan sosial, itu semua diintegrasikan dalam kartu sakti,” terang Hasto.

Membangun narasi populisme wong cilik memang sah-sah saja dilakukan termasuk oleh Ganjar Pranowo. Tapi, apakah jargon tersebut memang sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam memilih pemimpin di 2024? Dosen Ilmu Komunikasi Unpad, Kunto Adi Wibowo berharap, narasi populisme wong cilik menjelang 2024 tidak hanya menjadi bahan jualan partai atau paslon tertentu saja.

Pasalnya selama ini, di balik citra sebagai representasi wong cilik, tentu ada misi meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih untuk mendapat keuntungan dan kekuasaan. “Ini kan branding. Bagaimana usaha mendekatkan diri dengan konstituennya, karena mau nggak mau di piramida populasi Indonesia paling besar ya ada di lapisan bawah atau wong cilik itu,” ungkapnya.

Menurut dia, publik sesungguhnya dapat menilai, apakah embel-embel wong cilik ini sejalan dengan perangai parpol dan paslon yang didukung, atau hanya sekadar label belaka. Kunto berpendapat, selama ini citra wong cilik bisa jadi hanya merupakan slogan belaka dan sudah banyak masyarakat yang tidak percaya.

Di sisi lain, kata dia, bisa jadi citra representasi wong cilik itu diterjemahkan melalui tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam demokrasi. Misalnya, memanfaatkan situasi bencana atau krisis dengan pemberian bantuan ke masyarakat kecil, namun dibarengi kampanye. Dalam proses tersebut dimungkinkan terjadi politik uang (money politics), pembelian suara (vote buying), hingga pembagian uang atau barang berkedok politik (pork barrel) dari politisi ke masyarakat sipil.

“Ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Namun, bagi warga ya itulah yang disebut sebagai representasi wong cilik, yang bisa menyediakan uang bantuan dalam waktu yang cepat ketika warganya sangat membutuhkan. Maka, tidak heran jika pada akhirnya mereka yang melabeli diri sebagai representasi wong cilik lebih mendapat tempat di hati masyarakat. Kalau situasi ekonomi semakin buruk, sangat mungkin money politik ini sangat efektif nanti di 2024,” terang Kunto.

Dia menegaskan, tentu publik menunggu pembuktian dari Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD jika mereka memenangi Pilpres 2024. Apalagi, selama menjabat baik Ganjar maupun Mahfud memang dikenal merakyat dan kerap membela rakyat kecil. “Yang ditunggu tentu pembuktian bila terpilih. Apakah mereka tetap pro wong cilik, atau justru dikooptasi oleh oligarki,” tutup Kunto.