KPK Sebut Penetapan Tersangka Wamenkumham Eddy Hiariej Bukan Keputusan Individu

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata memastikan penetapan tersangka sudah melalui sejumlah rangkaian. Tak ada sentimen pribadi, termasuk ketika mengumumkan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.

Pernyataan ini disampaikan menjawab tudingan kubu Eddy dalam sidang perdana praperadilan pada Senin, 18 Desember. Katanya, penetapan tersangka tentunya diawali dengan gelar perkara.

“Penetapan seseorang sebagai tersangka di KPK sudah melalui gelar perkara yang dihadiri penyelidik, penyidik, penuntut umum dan unsur pimpinan,” kata Alexander kepada wartawan yang dikutip Selasa, 19 Desember.

“Jadi bukan putusan pribadi,” sambungnya.

Kubu Eddy Hiariej menuding pernyataan Alexander soal penetapan tersangka sebagai penyebaran berita bohong. Sebab, surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap tiga tersangka baru diterbitkan pada 24 November dan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) diterbitkan 27 November.

Tapi, Alexander selaku Wakil Ketua KPK sudah lebih dulu menyatakan Eddy sebagai tersangka pada 9 November. Sehingga, ada dugaan dia menggiring opini soal status hukum eks wakil menteri itu.

“Entah dengan tujuan atau alasan apa dan memfait accompli para komisioner termohon lainnya sehingga kemudian hari akhirnya pemohon I berikut pemohon II dan Pemohon III benar-benar terpaksa ditersangkakan secara resmi oleh Termohon pada tanggal 24 November 2023,” tegas kuasa hukum Eddy di persidangan.

Diberitakan sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan Eddy Hiariej sebagai tersangka. Dia diduga menerima duit hingga Rp8 miliar yang dibagi beberapa kali untuk sejumlah keperluan yang melibatkan bos PT CLM, Helmut Hermawan.

Penerimaan pertama Eddy dilakukan setelah dia setuju memberikan konsultasi administrasi hukum umum sengketa kepemilikan PT CLM. Ketika itu Helmut memberi uang sebesar Rp4 miliar.

Kemudian, dia juga menerima Rp3 miliar untuk menghentikan proses hukum yang melibatkan Helmut di Bareskrim Polri melalui penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Terakhir, Eddy diduga menggunakan kuasanya sebagai Wamenkumham untuk membuka blokir PT CLM dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kemenkumham. Ketika itu, dia menerima uang Rp1 miliar yang kemudian digunakan untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).

Adapun penerimaan ini dilakukan Eddy melalui dua orang sebagai perwakilan dirinya. Mereka adalah pengacara bernama Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana yang merupakan asisten pribadinya.