Review Malam Para Jahanam, Film Horor Berbalut Sejarah 1965 yang Kelam
JAKARTA - Film bertajuk Malam Para Jahanam terinspirasi dari salah satu peristiwa kelam nan menyedihkan yang terjadi Indonesia. Film produksi Starvision ini mengkombinasikan horor sekaligus laga yang masih jarang dilakukan di Indonesia.
Cerita diawali dengan kilas balik berlatar Desa Winongo pada tahun 1965, ketika lurah desa tersebut meninggal dengan cara yang mengenaskan. Jasad lurah sedang dimandikan dalam bilik oleh sekumpulan orang.
Di luar bilik, terdapat sejumlah tamu yang menghadiri acara tersebut. Meski suasana muram mendominasi, ternyata ada semacam ketegangan antara dua pria, yaitu Kyai Malik (Teddy Syach) dan Bachtiar (Derry Oktami), yang saling menatap penuh kecurigaan.
Di tengah ketegangan tanpa kata itu, tiba-tiba ada obor yang dilemparkan ke arah halaman rumah tempat acara duka berlangsung, dan mendarat tepat di atas meja. Api dari obor yang menyala tersebut menyambar seseorang, dan langsung membuat panik warga yang sedang berkabung. Kemudian api tersebut menjalar ke rumah lurah, karena orang yang terbakar tersebut lari dan menghantam pintu kayu rumah itu.
Belum selesai kepanikan akibat serangan pertama, obor kedua dilemparkan. Sebagian warga pun bergegas untuk mengejar pelaku, yang kemudian diinterogasi, tetapi tidak mau menjawab apa pun. Pelaku tersebut langsung ditikam hingga mati.
Kembali ke tahun 2023, penonton disuguhkan dengan adegan kematian kakek Rendi, seorang purnawirawan tentara. Di ruang kerja sang kakek, Rendi (Harris Vriza) menemukan sejumlah barang-barang almarhum, yang berupa kotak berisi foto, tasbih, serta pesan untuk menguburkan jasadnya di Desa Winongo, sebuah desa di mana dia pernah bertugas.
Rendi bersama teman-temannya, Martin (Zoul Pandjoul) dan Siska (Amel Carla) pun pergi mengantarkan jasad si kakek ke Desa Winongo. Walaupun dibantu dengan GPS, mereka menemui sejumlah kesulitan, seperti hilang sinyal, serta mobil yang mendadak mogok tepat di gapura desa tersebut.
Karena mobilnya mogok hingga dua kali, terpaksa mereka bermalam di dekat rumah jagal. Dari situlah keanehan-keanehan mulai terjadi. Rendi dan kawan-kawannya mulai melihat arwah-arwah yang saling bertengkar di dekat rumah jagal, yang saling adu bacok hingga berdarah-darah.
Dalam upaya mereka untuk menyelamatkan diri, mereka bertemu dengan seorang warga lokal, yaitu Marni (Djenar Maesa Ayu). Marni tinggal bersama Dira (Aghniny Haque) di sebuah rumah klasik bergaya Jawa. Keduanya mengimbau Rendi, Martin, dan Siska untuk menginap dan berdiam diri di rumah mereka selama tiga malam, guna menyelamatkan diri dari 'malam para jahanam', yaitu kejadian horor yang tiap tahunnya menghantui Desa Winongo.
Marni dan Dira juga menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hingga akhirnya arwah-arwah penasaran tersebut selalu muncul dan merasuki warga desa selama tiga hari berturut-turut, menghabisi satu sama lain.
Baca juga:
Horor yang unik
Cerita film ini menjadi unik karena horor yang disuguhkan terasa berbeda dari horor-horor Indonesia pada umumnya. Latar cerita film ini diinterpretasikan dari kejadian-kejadian kelam pada tahun 1965 dan 1966, yaitu pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme.
Keistimewaan lainnya dari film itu adalah momen penayangannya, yaitu 7 Desember 2023, yang notabene adalah saat-saat tahun politik.
Presiden Direktur Starvision Chand Parwez Servia mengatakan, pihaknya berharap bahwa selain menjadi sebuah tontonan, film tersebut dapat menjadi bahan pelajaran bagi masyarakat Indonesia agar tidak terpecah belah, mewarisi dendam masa lalu, bahkan sampai saling menyerang satu sama lain meskipun saudara sendiri.
Adegan di Desa Winongo diambil di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Para kreator film menilai tempat itu cocok sebagai tempat syuting, karena menggambarkan suasana Indonesia pada era 60an —panas, gersang, dengan banyaknya pohon-pohon jati yang mengering.
Film ini mencoba memberikan bumbu-bumbu kekeluargaan, persahabatan, dan juga hubungan asmara antara karakter. Sayangnya, kekeluargaan dan hubungan asmara antar karakter tidak tersampaikan dengan baik, sehingga penonton tidak bisa merasakan adanya chemistry yang kuat antar pemainnya.
Memiliki genre horor, film Malam Para Jahanam menunjukkan bentuk hantu yang berbeda dari film-film horor yang lain. Yang pada umumnya hanya sesosok makhluk biasa, namun di film ini, sosok hantu ini digambarkan layaknya zombie yang bisa mengejar bahkan membunuh manusia.
Sayangnya, bentuk hantu itu malah tidak memberikan rasa ketegangan kepada penonton selama menonton film ini. Hal ini semakin tidak dirasakan karena tidak adanya visual atau efek suara yang mendukung, sehingga kesan horor yang ingin ditunjukkan dirasa kurang dan hambar.
Pada bagian akhir cerita cukup mengandung plot twist yang tidak terbayangkan oleh penonton sebelumnya. Sehingga cukup menimbulkan pertanyaan di mana awal mula plot twist itu dimulai sehingga penonton tidak menyadarinya sama sekali sebelum akhirnya ditunjukkan di akhir film.
Pesan dari film ini cukup berkesan. Film Malam Para Jahanam ini secara tidak langsung ingin mengingatkan generasi muda untuk kembali mengingat suasana mencekam yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 sehingga sejarah kelam itu akan terus diingat sampai kapanpun.
Visual, sound effect
Karena inspirasinya adalah pembantaian, maka tak heran dalam film berdurasi sekitar satu setengah jam ini banyak ditampilkan aksi penyerangan dan pembunuhan.
Bagi yang memiliki depresi atau gangguan mental, disarankan untuk berhati-hati dalam menonton film ini, karena terdapat beberapa adegan bunuh diri berupa gantung diri.
Dikutip dari ANTARA, sejumlah hal yang menarik dalam film ini yaitu sound effect serta permainan musiknya. Ketika seseorang dihantam, ditendang, atau ditusuk, penonton bisa mendengar, bahkan merasakan bunyi-bunyian yang begitu nyata, seolah-olah sedang berada di tempat kejadian tersebut, melihat, dan mengalami secara langsung.
Film horor tentu belum lengkap tanpa adegan mengejutkan. Dalam film ini pun, ada beberapa yang bisa ditemui. Adapun kapan adegan tersebut muncul dapat diketahui dari keheningan selama beberapa saat sebelum akhirnya diikuti dengan kejutan itu, yang biasanya disertai dengan suara-suara keras.
Meski jumpscare dalam film ini mengikuti sebuah formula yang membuat sensasi kejutannya mudah ditebak, namun ada satu adegan jumpscare yang menggunakan efek dolly zoom secara tepat, sehingga dapat memacu adrenalin dan ketegangan para penonton.
Untuk ukuran film layar lebar, efek spesial terasa seperti di sinetron-sinetron, seperti pada adegan-adegan terbang, terlempar, dan terbakar api.
Penokohan dan cerita
Di film ini, terdampat sejumlah nama aktor kawakan yang bermain, antara lain Aghniny Haque, Teddy Syach, dan Djenar Maesa Ayu.
Aghniny Haque, yang biasa berlaga di titel-titel sebelumnya, dalam film kali ini dituntut untuk tidak terlalu terlihat seperti jagoan. Dia piawai memainkan perannya sebagai Dira, gadis Desa Winongo yang punya perhatian lebih terhadap tempat tinggalnya itu.
Malam Para Jahanam adalah debut film horor pertama bagi Amel Carla, yang berperan sebagai Siska. Meski film itu horor pertamanya, namun pembawaannya sebagai karakter yang penakut cukup hebat, dan penonton dapat turut merasakan ketakutan tersebut di sepanjang cerita. Amel Carla sebagai Siska cukup menonjol dan totalitas dibandingkan dengan pemain lainnya meskipun ia tidak memiliki peran sebagai pemeran utama.
Di film ini, akting Teddy Syach dan Derry Oktami pun dapat menggambarkan secara dramatis kisah persahabatan masa kecil yang berubah menjadi perseteruan antara dua pribadi dengan ideologinya masing-masing. Koreografi dalam adegan pertarungan pun terasa menegangkan, karena keduanya adalah karakter yang sama-sama kuat.
Poin plus bagi film ini adalah sejumlah plot twist menarik yang ada di pertengahan dan akhir cerita. Meskipun di awal-awal cerita terdapat sejumlah trope horor klasik —seperti hilang sinyal, mobil mogok tiba-tiba, dan terpaksa bermalam di tempat angker— namun penonton diberikan experience yang berbeda di tengah dan akhir cerita, dengan banyaknya petunjuk seputar plot twist tersebut. Rasanya tetap saja menjadi sebuah surprise, meski penonton dapat mengaitkan sejumlah benang merah dari berbagai petunjuk itu.
Meski cerita banyak berlatar di wilayah Jawa, rasanya agak aneh karena kita menyaksikan warga lokalnya tidak menggunakan logat kedaerahan, malah memakai aksen ala kota metropolitan. Padahal di awal cerita ditunjukkan bahwa daerah tersebut susah sinyal, sehingga seharusnya pengaruh dari dunia luar minim, bahkan tidak ada.
Film horor ini unik karena menampilkan sebuah premis baru yang berakar dari sejarah yang dinilai sensitif di Indonesia, dan momen penayangannya pun menjadikan film ini lain dari yang lain.
Walau terdapat sejumlah kejanggalan dalam cerita dan special effectnya, eksekusi yang rapi dan keterhubungan sejarah ke nilai-nilai mistis yang ada di Tanah Air menjadikan film ini menarik untuk dinikmati.