Feature: Irfan Sembiring: Metalhead Visioner, Pendakwah yang Tak Kenal Lelah
JAKARTA - Salah satu tokoh penting di ranah metal Tanah Air, Irfan Sembiring meninggal dunia. Pendiri sekaligus gitaris dan vokalis band thrash metal Rotor ini mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa, 16 Februari, dalam tidurnya. Irfan diduga kena serangan jantung.
Rotor merupakan generasi band metal gelombang pertama di Jakarta. Bersama Judapran (bass) dan Bakar Bufthaim (drum), Irfan melepas album debut Behind The 8th Ball pada tahun 1992 via AIRO Records. Setahun berselang, setelah dilengkapi vokalis Jodie Gondokusumo, suami pertama Ayu Azhari, Rotor didaulat sebagai band pembuka konser Metallica di Lebak Bulus.
Jadi pembuka legenda metal dunia, Rotor punya modal cukup untuk mengadu nasib di Amerika Serikat. Lewat rekomendasi pemilik AIRO, Setiawan Jodie, Rotor terbang ke Negeri Paman Sam.
Sampai di sana, album Behind The 8th Ball disebarkan ke puluhan label dengan harapan mendapat kesepakatan rekaman dan didisitribusikan secara global. Singkat kata, ada dua label yang kepincut dan beredarlah album ini. Tapi, cuma di Los Angeles.
Album Behind The 8th Ball kerap mendapat ulasan buruk dari sejumlah media Amerika. Salah satunya, Metal Maniacs yang memberi bintang satu. Musik Rotor juga sering dibanding-bandingkan dengan band A atau band B yang notabene lebih terkenal dan mendunia. Artinya, untuk standar di sana, penilaian semacam ini menempatkan posisi Rotor sebagai band yang tidak bakal ngetop.
Sudah rahasia umum jika band-band Tanah Air berkiblat ke mancanegara, termasuk Rotor. Tak aneh jika komposisi musik dalam album debut mereka masih sangat dipengaruhi Metallica, Megadeth, King Diamond, Kreator, Sepultura, dan Violence.
Menyadari hal tersebut, Irfan memutuskan untuk tidak mendengarkan musik apapun. Otaknya dibuat steril. Dia hanya fokus membuat dan membuat lagu. Itu saja. Lahirlah album Eleven Keys (1995), yang kadar metalnya mengalami pergeseran cukup ekstrem. Ya, musiknya sangat eksperimental.
Terus-terusan tidak mendengarkan lagu orang, Irfan kembali menyulap album berikutnya, New Blood (1996). Kali ini malah semakin jauh lagi dari kadar old school thrash metal ala album pertama. Demikian pula album Menang (1997). Benar-benar menyimpang. Tapi, Irfan tetaplah visioner.
Judapran sang pemain bas kemudian tewas karena over dosis obat bius. Rotor pun vakum. Jodie, mantan vokalis, juga meninggal dunia. Legenda thrash metal ini baru bangkit dari mati suri sekitar tahun 2011. Irfan memugar puing-puing Rotor bersama Bakar Bufthaim. Kali ini, dilengkapi Ucok Tampubolon (gitar), Ungki Blvz (vokal) dan Ramadhanny Hussein (bass).
Kendati demikian, bangkitnya band yang telah menelurkan empat album ini menimbulkan berbagai tanggapan. Ada yang antusias lantaran sudah lama berharap mereka kembali. Ada pula yang terheran-heran.
Bukan tanpa alasan. Selama Rotor vakum, Irfan telah menentukan pilihannya untuk menjadi pendakwah. Nyaris seluruh waktunya dihabiskan di masjid, meski bukan pada waktu-waktu salat.
Pria kelahiran Surabaya, 2 Maret 1970 ini juga kerap keliling dari masjid ke masjid bersama jamaah yang bermarkas di salah satu kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Bahkan, setiap tahun selama empat bulan ia keliling dunia untuk menyebarkan agama Islam. Artinya, jika Rotor kembali eksis, selama Irfan dakwah mereka praktis vakum lagi.
Kembalinya Irfan ke dunia musik diawali saat ia berniat untuk menggarap proyek solo bernama IRS (Irfan Rotor Sembiring) dengan bantuan beberapa rekannya. Namun, para produser yang terlibat dalam proyek ini memberi saran agar Irfan mengunakan nama Rotor. Jadilah Rotor versi baru.
Sejumlah lagu dibuat Irfan. Konon, syairnya diadaptasi dari kitab suci Alquran. Antara lain Infidels - Divine Support - The Flame yang diceploskan ke dalam album kompilasi lintas genre gawean Burepublic Records, Born To Fight…Let’s Start The War rilisan 2012 - dan lagu berjudul Eleven Keys.
Albumnya sendiri saat itu sudah hampir rampung. Secara musikal, konsep yang ditawarkan formasi baru ini lagi-lagi 'miring'. Apalagi didukung latar belakang personelnya yang punya selera musik berbeda-beda.
Baca juga:
Pertama Belajar Gitar
Irfan kali pertama belajar gitar saat duduk di bangku kelas 6 SD kepada saudaranya yang bernama Bang Benar. Ia bermarga Ginting. Saat itu, Irfan masih tinggal di Tanjung Pinang kepulauan Riau.
Ketika hendak pindah ke Jakarta, ada isu berembus bahwa untuk masuk SMP Negeri di Ibu Kota harus bisa memainkan salah satu alat musik. Padahal tidak. Tapi, Irfan terlanjur dibelikan gitar akustik Yamaha G225 oleh ayahnya.
Bang Benar sendiri bukanlah gitaris yang doyan ngeband. Ia anak muda yang suka nongkrong sambil bermain gitar di warung-warung sekitar rumah orang tua Irfan. Lagu-lagu yang diajarkan kepada Irfan juga bukan nomor-nomor cadas, melainkan lagunya Uci Bing Slamet, Ebiet G. Ade, dan Ira Maya Sofa.
Sampai ke Jakarta, lalu nongkrong, Irfan jatuh cinta pada Rolling Stones. Saat itu, tahun 1982, mengenal Stones adalah sebuah keharusan. Aku Irfan, jika tinggal di Jakarta tidak suka Stones susah cari teman. Pergaulan semakin luas, Irfan pun suka musik metal. Setelah digaet band Suckerhead, Irfan membentuk Rotor. Band yang menjadi legenda di kemudian hari.
Di luar Rotor, Irfan memproduseri semua album Gitar Klinik, Metalik Klinik dan Indienesia di bawah bendera RotorCorp. Khusus Gitar Klinik edisi pertama, proses produksinya ditemani Krisna Sadrach dari Suckerhead.
Motivasi Irfan memproduksi album Gitar Klink cuma satu. Saat itu di Indonesia belum ada album yang isinya khusus gitar. Dan ia merasa harus menjadi pionernya.
Irfan lantas menghubungi teman-temannya, antara lain Eet Sjahranie (Edane), Ezra Simanjuntak (Zi Factor), Pay (BIP, eks Slank), Andry Franzzy (eks Powerslave dan Boomerang - sekarang dikenal dengan nama Andry Muhammad), dan Kiki Noval (Rajawali). Intinya, gitaris-gitaris terbaik yang mewakili genrenya.
Tinggalkan Musik dan Dalami Agama Islam
Setelah melepas 4 album bersama Rotor, Irfan mundur dari dunia musik dan memperdalam agama Islam. Alasan Irfan kala itu, ingin jadi orang sukses.
Irfan berpendapat, jika ingin jadi orang sukses, harus belajar sama orang sukses juga. Kalau ingin sukses di musik, harus belajar sama musisi yang sukses. Kalau ingin jadi pemain tenis sukses, ya belajar sama pemain tenis yang sukses juga.
Irfan merasa sudah sukses di musik, untuk ukuran musisi Indonesia. Tapi, ia tidak bahagia. Saat tinggal di Amerika, Irfan bertemu musisi-musisi sukses, tapi ia juga merasa mereka tidak bahagia. Lalu, apa yang salah?
Irfan mengambil kesimpulan, "kalau kesuksesan gue di musik ini gue perbesar dan gue sukses seperti mereka - katakanlah Mick Jagger, Michael Jackson atau siapa saja - berarti gue hanya memperbesar masalah. Memperbesar ketidakbahagiaan gue."
Irfan lantas bertanya kepada dirinya: "Siapa sih orang yang paling sukses di dunia, yang sukses segala-galanya… Pasti ada nih?" Lalu Irfan pergi ke toko buku Gramedia. Di sana, dia melihat satu buku yang judulnya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya seorang Nasrani bernama Michael H. Hart.
Halaman daftar isi pun dibukanya. Dia kaget, melihat nama Nabi Muhammad di urutan pertama, yang kedua Isaac Newton, dan ketiga Yesus Kristus. Lalu dia buka satu per satu halaman buku itu. Dan kecewa ketika cerita tentang Rasulullah cuma ada 20 lembar. Tak puas, Irfan tak jadi membeli buku itu dan mencari buku lain.
"Nggak mungkin mempelajari kesuksesan seseorang hanya dengan 20 lembar…nggak mungkin! Mau belajar masak aja harus berlembar-lembar," tutur Irfan dikutip dari majalah GitarPlus edis Februari 2013.
Setelah menemukan apa yang dicarinya, Irfan semakin mendalami agama Islam. Itu terjadi sekitar tahun 1997, sebelum menikah.
Kembali menghidupkan Rotor pada tahun 2010an, Irfan menolak anggapan yang menyebut dirinya kembali aktif bermusik. Menurut dia, itu cuma iseng dan melepas rindu dengan teman-temannya. Ya, Rotor tidak pernah bangkit total karena setelah itu vakum lagi. Dan Irfan, akan terus menjadi pendakwah.
Wacana untuk menghidupkan kembali Rotor terus mengapung. Pada tahun 2021, Irfan meletupkan gagasan untuk merekam ulang album debut Behind The 8th Ball yang dia akui belum rampung dan belum sesuai keinginannya.
Maklum, perilisan album tersebut terburu-buru lantaran jadi semacam syarat wajib untuk Rotor sebelum menjadi pembuka konser Metallica. Alhasil, Irfan belum puas dengan hasilnya.
Rencana tersebut mendekati kenyataaan ketika Irfan mengunggah foto bersama Makki Parikesit, bassis Ungu yang juga sahabatnya. Menurut Irfan, Makki akan menemani dirinya dan Bakar Bufthaim dalam formasi baru Rotor.
Tidak sampai di situ. Irfan juga menulis dua nama berinisial T pada posisi gitar dan H pada posisi vokal untuk formasi ini. Disinyalir, itu merupakan Tepi alias Stevi Item (DeadSquad) dan Husein Alatas (Children Of Gazza).
Namun, takdir berkehendak lain. Irfan dipanggil Tuhan untuk selamanya.
Resensi Album Behind The 8th Ball
Awal tahun ’90-an, saya mengalami adiksi terhadap Sepultura. Saat itu, saya menganggap tidak ada lagi band thrash metal yang paling beringas namun berkualitas di jagat ini selain Max Cavalera dkk.
Namun, setelah mendengar album Behind The 8th Ball dari Rotor (1992), saya menyadari bahwa di Indonesia juga ada band garang yang bermutu. Tidak heran jika Irfan Sembiring dkk lantas didaulat sebagai pembuka konser Metallica di Lebak Bulus pada 1993, atau beberapa bulan setelah album ini dirilis.
Album ini dibuka oleh trek titel Behind The 8th Ball, yang menghidangkan komposisi berbalut progresi chord unik. Pluit Phobia lantas tampil dengan nuansa etnik dalam balutan lirik tentang perlawanan.
Ada pula Gatholoco, wujud lain dari Pluit Phobia. Musik serupa, tapi tuturan lirik berbeda. Trek ini menjadi bukti betapa berangasnya Irfan. Kualitas vokalnya alami.
Sementara itu, Jodie, eks vokalis Getah dan sosok yang cukup disegani di komunitas musik bawah tanah Jakarta, tak kalah berbahaya. Vokalnya dalam The Last Moment dan Spontanuous Live sungguh menggelegar.
Nomor-nomor lain seperti Beyond The Eyes of Pain, Curse of Leak, Nuclear is Solution, Hate Monger, dan A Dismall Picture of Mankind dimainkan dengan tempo super cepat dan varian chord yang kaya. Di sini, gebukan drum Bakar begitu mengentak tapi tetap menampilkan akurasi tempo dan ritme yang terjaga rapi.
Behind The 8th Ball bukan cuma membuka babak baru perjalanan hijrahnya Rotor ke Los Angeles, Amerika Serikat, tetapi juga mampu melibas pola konvensional yang membuat adiksi saya terhadap musik-musik thrash metal semakin akut.
Album ini dirilis ulang dalam format vinyl (piringan hitam) pada awal Januari 2021 via label rekaman independen Elevation Records. Jumlahnya tidak banyak, cuma 313 keping.