Mengenal Herd Immunity yang Sudah Ada Sejak Satu Abad Lalu
JAKARTA – Herd immunity atau kekebalan kelompok serta dikenal juga dengan kekebalan populasi sejak lebih dari satu abad lalu diteliti, didalami, serta dipraktikkan. Dengan memiliki kekebalan atau resistensi patogen pada satu kelompok, herd immunity dapat tercapai.
Sejauh mana konsep herd immunity atau kekebalan kelompok ini dapat bekerja efektif? Sejak kapan diteliti secara ilmiah? Berikut penjelasan lengkapnya.
Melansir The Lancet, Selasa, 16 Februari, konsep herd immunity diberikan pada tentara dan angkatan laut yang berjuang melawan infeksi selama Perang Dunia I. Pada kisaran tahun 1920-an, tenaga medis profesional bekerja untuk mengidentifikasi dan mengobati patogen serta mengenali populai mereka.
Bagaimana derajat tingkat patogenitas penyakit pada jangka waktu tertentu dapat mendorong naik turunnya resistensi populasi terhadap gelombang pandemi?
Pada Juli 1919, seorang ahli bakteriologi W.W.C. Topley menjelaskan tentang epidemi eksperimental yang ia buat pada sekelompok tikus. Sekelompok tikus resisten atau bertahan hingga akhir epidemi, kecuali pada kelompok rentan.
Selanjutnya, dalam Journal of Hygine, pada tahun 1923 Topley dan G.S. Wilson menggambarkan resistensi kelompok sebagai herd immunity.
Setahun sebelum diterbitkan laporan dalam jurnal ilmiah, Topley menemukan ada kemiripan kasus persebaran penyakit epidemik pada manusia, terutama yang dialami anak-anak usia sekolah.
Baca juga:
- Masuk Zona Merah COVID, Pemkab Bekasi Tutup Tempat Ibadah di RT/RW Bekasi
- Kemenkes Bolehkan Masyarakat dengan Kondisi Tertentu Divaksin COVID-19, Begini Penjelasannya
- Peneliti Israel: Vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech Miliki Keampuhan di Atas 90 Persen
- 5 Instruksi Jokowi Soal Penanganan Pandemi yang Harus Didukung TNI-Polri
Sheldon Dudley, seorang profesor patologi di Royal Naval Medical School meneliti epidemi difteri dan menerapkan konsep herd immunity. Hasil laporannya tertulis dalam karya ilmiah berjudul Human Adaptation to the Parasitic Environment diterbitkan tahun 1929.
Laporan berisi hal mendasar perihal faktor-faktor yang terlibat dalam penyebaran penyakit menular. Dan imunisasi aktif melawan difteri berpengaruh pada distribusi imunitas antitoksik.
Tak selesai pada satu wabah, tahun 1930 diskusi tentang herd immunity berkaitan dengan influenza, polio, cacar, dan tifus muncul dalam buku-buku teks, jurnal, dan laporan kesehatan masyarakat di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat.
Herd immunity dalam satu topik juga berkaitan dengan analisis rasial, kelompok ras mana yang lebih resisten terhadap satu wabah. Dudley lebih mendalami mengenai apakah resistensi tubuh pada persebaran epidemi satu kelompok dipengaruhi oleh imun alami atau imunisasi. Hingga tahun 1950 dan 1960-an ketika dibuat vaksin baru memunculkan pertanyaan besar tentang kebijakan kesehatan masyarakat.
Menjelang tahun 1990, fakta-fakta mengenali dan mendalami herd immunity memuncak kembali. Hingga tahun 2020 pendemi yang terjadi secara global atas persebaran virus Covid-19 mengharuskan berbagai pihak terkait kesehatan masyarakat untuk mengambil tindakan.
Pada kasus epidemi campak dibutuhkan populasi kebal sebanyak 95 persen sehingga 5 persen lainnya akan terlindungi dari persebaran campak. Sedangkan pada polio memiliki ambang herd immunity 80 persen.
Dilansir dari Bussiness Insider, Selasa, 16, Februari, para ahli memperkirakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19 diperlukan sejumlah 40-70 persen populasi kebal. Sementara itu, dalam kondisi resistensi patogen yang heterogen, herd immunity dicapai peningkatan kekebalan tubuh kelompok salah satunya dengan vaksinasi.
Berdasarkan rilis resmi dari WHO, kekebalan terhadap Covid-19 masih dipelajari. Sebagian besar orang yang terinfeksi mengalami respons imun dalam beberapa minggu pertama. Tetapi belum dapat dipastikan seberapa kuat atau bertahan berapa lama respons imun tersebut.
Data penelitian mengenai seroprevalensi dari seluruh dunia mengindikasikan bahwa kurang dari 10 persen subjek penelitian pernah mengalami infeksi. Artinya sebagian yang lain masih rentan terhadap virus ini.
Sebab belum ada perhitungan pasti seberapa efektif vaksin Covid-19, artinya tindakan taktis tetap perlu diimbangi pemberlakukan jarak sosial, meminimalisir penularan lewat droplet dengan memakai masker, mencuci tangan, penyemprotan disinfektan, dan sejumlah cara agar dapat resisten.