Riwayat Tanah Lungguh: Gaji Besar untuk Pasangan dalam Sejarah Kerajaan Mataram
JAKARTA - Gaji besar bagi pejabat tinggi adalah hal lumrah. Tugas politik yang vital jadi alasannya. Hal ini sudah terjadi sejak sejarah zaman Kerajaan Mataram. Bedanya, gaji tak berbentuk nominal uang. Pejabat diberikan kekuasaan atas rakyat hingga tanah. Yang menarik, perihal gaji jadi aspek penting untuk seorang pejabat mendapatkan istri, yang kerap kali bahkan lebih dari seorang.
Dalam tradisi Kerajaan Mataram sejak abad ke-16, raja adalah satu-satunya pemilik tanah. Artinya, secara teritoris raja berkuasa atas tanah yang menjadi daerah kekuasaan Mataram. Untuk menjalankan roda ekonomi kerajaan, tanah dijadikan sumber pendapatan. Sebab harta raja tak dipakai untuk menggaji para pejabat.
Sebaliknya, kerajaan memberi pejabat tinggi tanah lungguh (apanage) atau yang menurut istilah Belanda “tanah gaji.” Tanah lungguh dibagikan raja kepada para pejabat dalam durasi waktu tertentu. Tanah lungguh tak ditentukan berdasar luasan hektare atau acre, tapi ditentukan dengan jumlah penduduknya (cacah).
Sejarawan Ong Hok Ham menjelaskan satu cacah sama dengan kesatuan petani yang terdiri dari empat orang laki-laki. Alhasil, kedudukan finansial maupun tingkat politis pejabat tinggi dinilai dari jumlah cacah yang ia dapat dari raja. Pejabat tinggi dapat menggunakan tenaga cacah untuk berbagai keperluan, dari yang bersifat pribadi hingga kepentingan kerajaan.
“Begitulah misalnya seorang pejabat kerajaan atau pangeran menerima tanah seluas 800 cacah (keluarga petani). Yang berarti bahwa ia menerima tanah yang cukup luas untuk digarap oleh 800 keluarga petani atau cukup luas sehingga 800 keluarga petani dapat menggarapnya. Singkatnya, kekayaan dan kemakmuran para anggota kaum elite Jawa diukur menurut jumlah penduduk dan tidak menurut luas tanahnya. Bukan penguasaan wilayah, tetapi penguasaan penduduklah yang dianggap penting oleh kaum elite,” ungkap Ong Hok Ham dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah (1984).
Semua pejabat tinggi hidup dari tanah lungguh. Dari situlah lungguh berfungsi sebagai gaji atas pengabdian pejabat tinggi kepada raja dan kerajaan. Para cacah lalu diwajibkan menyerahkan hasil dari tanah lungguh ke pejabat.
Selain kerja wajib, pejabat tinggi berhak menggunakan tenaga cacah untuk berbagai macam kebutuhan. Sekali waktu untuk keperluan kediaman, pendirian irigasi, jalan-jalan, jembatan, hingga perkebunan. Pun ketika ada peperangan, para cacah dikenakan wajib militer.
“Kerja wajib ini dilakukan secara regular dalam setiap tahunnya pada acara-acara tertentu, seperti saat ada perayaan hari-hari besar kerajaan, seperti grebeg, upacara penobatan raja, dan juga hajatan-hajatan penting yang diselenggarakan oleh para pemilik tanah apanage, seperti pernikahan, kematian, dan sebagaianya. Kewajiban lain yang tidak bisa dihindari dari para pemegang hak garap tanah apanage adalah wajib militer pada saat-saat perang,” tulis Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).
Dalam mengelola tanah lungguh, pejabat tinggi menyerahkan kuasa kepada seorang pejabat tingkat desa yang disebut bekel. Tugas utama dari bekel ada dua. Pertama, membagikan tanah-tanah lungguh kepada para petani untuk dikelola. Kedua, memungut sebagian dari hasil tanah itu untuk diserahkan kepada pemilik tanah lungguh dalam bentuk upeti.
Kemudian, pembagian hasil dari tanah lungguh adalah dua pertiga untuk pemilik tanah, dua pertiga lagi untuk petani pengelola lahan. Sementara, sepertiga sisanya diberikan kepada bekel sebagai imbalan atas kerjanya memungut hasil pertanian.
Karenanya, posisi bekel sering diperebutkan penduduk desa. Jabatan bekel, menurut kebanyakan penduduk desa cukup memiliki prestise, entah itu secara sosial, ekonomi, maupun kultural. Jabatan bekel tak ubahnya seperti 'raja kecil'.
Di satu sisi bekel berfungsi sebagai penebas pajak. Sisi lainnya, bekel memiliki kuasa untuk menunjuk petani yang akan diberikan kekuasaan menggarap tanah, sekalipun pada hakikatnya bekel adalah bawahan dari pejabat tinggi.
“Bila kita tinjau kembali definisi lungguh, jelas bahwa lungguh itu disertai pula dengan hak-hak atas wilayah, yang ternyata dari hak pemegang lungguh untuk mengangkat bekelnya sendiri sebagai wakilnya dan sebagai pemungut pajak," ditulis Soemarsaid Moertono dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XIV-XIX (2017).
"Bekel itu sebaliknya diberi sebuah lungguh yang kecil oleh tuannya. Dapat dianggap bahwa sistem lungguh sudah merupakan lembaga yang lebih tua daripada sistem bengkok, sistem yang belakangan lebih banyak mempunyai sifat cara pemberian gaji yang sederhana atas jasa-jasa yang telah diberikan. Sedangkan pada lungguh masih ada tanda-tanda bekas hak-hak pemerintahan,” lanjutan dalam buku.
Gaji di masa transisi VOC ke Hindia Belanda
Perubahan sistem gaji para pejabat bumiputra mulai terlihat sejak kongsi dagang Belanda VOC bangkrut akhir abad ke-18. VOC yang kemudian digantikan oleh pemerintah Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811) melakukan perubahan signifikan pada birokrasi Hindia-Belanda.
Daendels yang jadi penentang utama korupsi mulai menggaji pegawai pemerintah kolonial dengan tinggi, termasuk memberikan pangreh praja (pejabat bumiputra) gaji tetap dan cultuurprocenten. Cultuurprocenten adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa).
Hadiah itu didapat ketika pangreh praja menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang ditetapkan dengan tepat waktu. Sistem ini bertahan sampai dihapusnya sistem tanam paksa.
“Subsidi keuangan kepada para Bupati diberikan antara 500 gulden dan 1.500 gulden bagi yang paling berpengaruh besar, seperti misalnya Bupati Madiun. Ketika daerah bupati kecil diintegrasikan menjadi daerah besar (proses ini berakhir kira-kira pada 1876), setiap bupati digaji 1.500 gulden sebulan. Persen Tanah Paksa tetap mereka nikmati, seperti juga hak-hak atas tenaga bakti (200 orang) setahun, dan upeti serta hak-hak adat lainnya,” cerita Ong Hok Ham dalam buku lainnya berjudul Wahyu yang hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Hidup mewah dengan istri tak satu
Dengan banyaknya penghasilan yang didapat, sekelas bupati dapat hidup bermewah-mewah. Bahkan, kebutuhan yang dikeluarkan bupati tiap harinya jauh lebih besar daripada keperluan kepala residen (Belanda) dengan seluruh keluarga inti (anak dan istri).
Hal itu dikarenakan seorang bupati memiliki keluarga besar berupa famili dan anak-pinak. Apalagi jika memiliki istri lebih dari satu. Semuanya –keluarga besar— itu dinafkahinya dan diberi pekerjaan.
Praktik banyak istri begitu berkembang pada kalangan bupati. Tradisi itu langgeng, sebagaimana yang diungkap Rosihan Anwar dalam buku Musim berganti, Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 (1985) karena di banyak tempat di Jawa telah memiliki budaya menawarkan “teman tidur” dan calon istri dari keluarga lurah kepada bupati.
Kemampuan menafkahi dan kuasa bupati memberikan pekerjaan kepada para istri dan keluarga jadi alasannya. Contoh kecilnya saja, para bupati dapat mengeluarkan dana besar untuk keperluan pesta, selamatan, dan memberi makan rumah tangga.
Saking besarnya, satu bupati kadang membutuhkan sekitar 2 ribu pikul beras setahun. Jauh berbeda dengan keluarga biasa Belanda atau China yang cuma 25 pikul.
MEMORI Lainnya
Baca juga:
- Irian Barat yang Dicinta Bung Karno, Papua yang Dikurung Rasisme
- Nganter Bandeng Kala Imlek: Tradisi yang Jadi Cermin Eratnya Kaum China dan Betawi
- Sejarah Kerja Paksa Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Benarkah Daendels Tak Bayar Pekerja?
- Dokter Djawa: Garda Depan Melawan Wabah dengan Gaji Kecil dan Tekanan Diskriminasi