Pemilu: Perebutan Kekuasaan dalam Dunia Modern yang Tetap Menyisakan Sisi Primitif
JAKARTA – Menjelang Pemilu 2024 yang tinggal tiga bulan lagi, drama politik tiada hentinya bermunculan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai mengibaratkan mirip drama korea (drakor).
Saling sindir dan saling hujat seolah menjadi hal biasa yang terjadi menjelang pilpres. Situasi ini menurut Jokowi seperti drakor, karena terlalu dibawa perasaan.
“Bahwa dalam demokrasi yang namanya kompetisi politik itu biasa, itu wajar, keinginan untuk menang itu juga boleh-boleh saja, bertanding untuk menang itu juga hal yang sangat wajar,” ujar Presiden RI ketujuh tersebut dalam sambutannya di HUT ke-59 Partai Golkar di kantor DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat (6/11/2023).
“Tapi yang harus tetap kita tunjukkan adalah demokrasi yang berkualitas, yang menghasilkan strategi kemajuan untuk bangsa. Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah terlalu banyak dramanya. terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat,” kata Jokowi menambahkan.
Padahal menurut Jokowi, di tahun politik seperti ini yang dibutuhkan adalah adu gagasan, bukan malah saling sindir di media.
"Mestinya kan pertarungan gagasan, mestinya kan pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan repot semua kita. Tidak usah saya teruskan nanti kemana-mana," ujarnya.
Potensi Tersinggung
Tidak perlu dijelaskan siapa yang disindir Jokowi dalam pidato sambutannya tersebut. Namun sejumlah pihak menilai mantan Wali Kota Surakarta itu sedang membahas pihak-pihak yang terus mengungkit masalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Pernyataan Jokowi kemudian memancing komentar dari berbagai pihak. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pun angkat bicara dengan memberikan komentar pedas.
"Politik ini memang bukan drama, politik ini kesungguhan, politik ini dedikasi, politik ini komitmen terhadap masa depan, tetapi politik ini harus keluar dari cerminan mata hati dari akal sehat dan nurani," kata Hasto di Jakarta, Rabu (8/11/2023).
"Jadi kalau akal sehat dilanggar ketika hukum direkayasa MK dikebiri ya munculah suatu gerakan untuk meluruskan itu," ujarnya.
Gibran dianggap mendapat karpet merah setelah putusan MK menambahkan syarat pernah atau sedang mengisi posisi jabatan publik yang dipilih melalui pemilu untuk Capres maupun Cawapres di bawah usia 40 tahun.
Tudingan soal nepotisme mengalir deras ditujukan ke arah Gibran. Utamanya karena Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan pamannya. Akhirnya Anwar Usman diberhentikan dari posisinya sebagai Ketua MK setelah dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik berat oleh Majelis Kehormatan MK.
Di tengah perang antara keluarga Jokowi dengan PDIP, Wakil Ketua Partai Gelora Fahri Hamzah mendorong para kontestan untuk bertarung adu gagasan.
“Jangan sampai Pemilu ini mengentertain perasaan yang susah diukur objektivitas dan subjektivitas, justru kita mulai adu gagasan karena dalam adu gagasan tidak ada ketersinggungan, dalam perasaan problemnya adalah ketersinggungan,” kata Fahri Hamzah dalam acara diskusi bertajuk Pilpres 2024: Adu Gagasan Bukan Adu Perasaan secara daring, Rabu (8/11/2023) sore.
Perebutan Kekuasaan di Era Modern
Dalam kesempatan yang sama, mantan Wakil Ketua DPR tersebut mengingatkan bahwa Pemilu sejatinya adalah soal perebutan kekuasaan dalam dunia modern. Dan, pemilu sebagai ajang perebutan di dunia adalah suatu metode yang lebih beradab karena tidak ada pertumpahan darah, tidak ada pembunuhan sebagaimana peperangan dahulu ketika manusia belum masuk masa peradaban modern.
“Tapi semodern-modernnya Pemilu, tetaplah perebutan kekuasaan. Itu sebabnya kita harus menyadari bahwa setiap Pemilu atau politik secara umum memiliki dua sisi,” ujar Fahri.
“Sisi pertama adalah soal ideal, inilah yang disebut kontestasi gagasan. Tapi orang tidak boleh lupa bahwa dalam politik ada sisi yang kasar. Sisi kasar ini adalah pencoblosan, perebutan suara, dan kemungkinan kecurangan,” kata Fahri menambahkan.
Karena kedua hal ini ada dalam politik, Fahri mengingatkan pentingnya adu argumen supaya keduanya hadir dalam kehidupan tanpa menyebabkan terjadinya benturan fisik.
Lebih lanjut, Fahri mengatakan bahwa dalam berpolitik tidak bisa menyenangkan semua orang, selalu ada pro dan kontra. Untuk itu dia mengajak semua pihak untuk move on dari problem yang selama ini selalu menjadi perbincangan.
Di sisi lain, Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Arsjad Rasjid, tak menampik adanya luka serius yang menandai awal Pilpres 2024. Ini merujuk pada putusan MKMK yang membuktikan pelanggaran etik berat mantan Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga:
- Menanti Efek Dahsyat Tim Mewah TKN Prabowo–Gibran yang Berisi Pengusaha dan Tiga Anak Mantan Presiden
- Menyoal Keputusan Basa-basi MKMK
- Stigma Neo Orde Baru dan Upaya Pendiskreditan Musuh Politik di Pilpres 2024
- Biaya Politik Mahal karena Kebiasaan Menghitung Suara dengan Uang, Bukan Kebutuhan Kontestasi
"Pada dasarnya MKMK menyatakan bahwa putusan MK nomor 90 lahir dari sebuah pelanggaran etik berat. Ini adalah mendung, masa berkabung untuk demokrasi kita," kata Arsjad dalam jumpa pers di Kantor TPN, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (8/11).
"Artinya rakyat harus menerima proses demokrasi Pilpres ini telah dimulai dengan luka serius, sejarah mencatat ini," ujar Arsjad lagi.